Pada hukum perdata Indonesia ada
hukum yang tertulis dan tidak tertulis. Hukum yang tertulis mengatur hubungan
antara orangtua dan anak adalah aturan yang ada di Hukum Perdata (KUHP). Namun
kitab ini hanya berlaku pada sebagian masyarakat Indonesia yaitu mereka yang
oleh Undang-Undang dinamakan golongan penduduk yang dipersamakan dengan orang
Eropa serta orang Timur Asing dan orang Indonesia yang dengan tindakan hukum
menyatakan diri tunduk pada hukum itu.
Didalam hukum tertulis tidak
terdapat aturan mengenai lembaga pengangkatan anak. Namun bagi golongan
Tionghoa tunduk pada B.W. ada pengaturannya secara tertulis dalam Stb. 1917 No.
129.
Bagi orang Indonesia asli ketentuan
yang mengatur hubungan diantara orangtua dan anak sebagian terbesar terdapat
dalam Hukum Perdata yang tidak tertulis yang dikenal dengan Hukum Adat atau
kebiasaan di suatu tempat yang kemudian dipatuhi olhe masyarakatnya sebagai
suatu aturan yang harus dipenuhi.
Bila kebiasaan ini dilanggar, orang
yang merasa dirugikan dapat mengajukan perkara ke Pengadilan Negeri dan juga
akan mendapatkan sanksi dari masyarakat umpamanya mengakibatkan rasa malu atau
dikucilkan dari pergaulan oleh masyarakat tersebut. Lambat laun untuk menjamin
kedudukan anak yang diangkat maupun untuk melindungi orangtua yang mengangkat
anak, berkembanglah kebiasaan untuk mengadakan perjanjian tertulis dengan
keputusan pengadilan.
Pasal 12 (1) UU Kesejahteraan Anak
(UU No. 4 tahun 1979) berbunyi “Pengangkatan anak menurut adat dan kebiasaan
dilaksanakan dengan mengutamakan kepentingan kesejahteraan anak”. Di dalam ayat
3 menyebutkan pengangkatan anak yang dilakukan diluar adat dan kebiasaan
dilaksanakan berdasar peraturan perundang-undangan. Karena peraturan
perundang-undangan ini belum ada sampai sekarang maka untuk memenuhi kebutuhan
dilaksanakan melalui SEMA No. 6 tahun 1987 dan SEMA 4 tahun 1989.
Menurut agama Islam, pengangkatan
anak tidak memutuskan hubungan darah antara anak dengan orang tua kandungannya.
Namun demikian, tidak jarang terjadi kasus dimana, dalam mengangkat anak, orang
tua angkat merahasiakan kepada anak mengenai orangtua kandungnya dengan maksud
agar anak akan menganggap orang tua kandungnya. Tetapi pada umumnya maksud
tersebut menjadi kontra produktif terutama setelah anak angkat menjadi dewasa
dan memperoleh informasi mengenai kenyataan yang sesungguhnya.
Akibat dari Peraturan Pemerintah No.
7 tahun 1977 tentang Gaji Pegawai Negeri Sipil, yang memungkinkan Pegawai
Negeri Sipil untuk mendapatkan tunjangan bagi anak yang diadopsi melalui
penetapan pengadilan, mulai praktek adopsi dengan ketetapan pengadilan.
Sementara itu, bagi mereka yang
termasuk ke dalam golongan penduduk keturunan Cina, berlaku peraturan adopsi
yang diatur dalam Staatsblad 1917 No. 129 yang memungkinkan dilakukannya adopsi
anak laki-laki Akan tetapi, berdasarkan jurisprudensi tetap tahun 1963,
Mahkamah Agung menganggap sah pula adopsi anak perempuan. Adopsi menurut
ketentuan Staatsblad 1917 No. 129 ini cukup dilakukan hanya dengan akte notaris
saja.
Masih sehubungan dengan tata cara adopsi
bagi penduduk keturunan Cina, berlaku pula ketentuan hukum perdata (pasal 302
dan 304).
Dalam
perkembangan selanjutnya, terutama dengan adanya The European Convention on the
Adoption of Children, telah memaksa diambilnya tindakan antisipasif terhadap
kemungkinan terjadinya intercountry adoption dan sekaligus memberikan
inspiransi bagi Indonesia. Dalam kaitan ini, Mahkamah Agung melalui surat
edaran No. 6/1983 dan No. 4/1989 menegaskan bahwa intercountry adoption harus
merupakan ultimatum remedium atau upaya terakhir apabila tidak didapatkan orang
tua angkat dari Indonesia sendiri, dan bahwa intercountry adoption harus
disahkan melalui penetapan pengadilan.
Pengangkatan anak dengan mekanisme
surat edaran Mahkamah Agung meliputi :
- Pengangkatan anak antar warga negara Indonesia
(domestic adoption)
- Adopsi anak Indonesia oleh orang tua angkat
berkewarganegaraan asing (intercountry adoption)
- Adopsi anak berkewarganeraan asing oleh warga negara
Indonesia (intercountry adoption)
Sementara itu, menurut ketentuan
Departemen Sosial, tata cara pengangakatan anak dilangsungkan melalui tiga
proses tahapan sebagai berikut :
- Calon orang tua angkat mengajukan permohonan ijin
kepada Kantor Wilayah Departemen Sosial setempat (dengan tembusan kepada
Menteri Sosial dan private institution dimana calon anak angkat berada).
- Kantor Wilayah Departemen Sosial mengadakan penelitian
terhadap calon orang tua angkat, dan paling lama dalam waktu 3 bulan harus
memberikan persetujuan atau penolakan.
- Jika permohonan disetujui, dilakukan
pengesahan/pengukuhan oleh pengadilan.
Selain berbagai ketentuan diatas,
ketentuan lain menyangkut adopsi yang berlaku di Indonesia sebelum periode ini
dapat disebutkan, inter alia, Undang-undang Perkawinan tahun 1979 (pasal 12
(3)) dan Keputusan Menteri Sosial RI No. 44/86.
Masalah Pengangkatan Anak juga
diatur dalam UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, pasal 56:
- Setiap anak berhak untuk dibesarkan, dipelihara,
dirawat, dididik, diarahkan dan dibimbing kehidupannya oleh orangtua atau
walinya sampai dewasa sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
- Dalam hal orangtua anak tidak mampu membesarkan dan
memelihara anaknya dengan baik dan sesuai dengan undang-undang ini maka
anak tersebut boleh diasuh atau diangkat sebagai anak oleh orang lain
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
Disamping itu juga diatur dalam
pasal 57. Ketentuan ini ternyata sejalan dengan Konvensi Hak Anak pada pasal 21
(a) Negara-negara peserta yang mengakui dan/atau membolehkan sistem adopsi akan
menjamin bahwa kepentingan terbaik anak yang bersangkutan akan merupakan
pertimbangan paling utama negara-negara itu akan:
a. menjamin bahwa adopsi anak hanya disahkan oleh penguasa yang berwenang yang
menetapkan, sesuai dengan hukum dan prosedur yang berlaku dan berdasarkan
dengan semua informasi yang terkait dan terpercaya bahwa adopsi itu
diperkenankan mengingat status anak sehubungan dengan keadaan orangtua,
keluarga, walinya yang sah dan jika disyaratkan, orang-orang yang
berkepentingan telah memberi persetujuan mereka atas adopsi tersebut atau dasar
nasehat yang mungkin diperlukan.
Hal tersebut diatas ternyata juga
telah diakomodasikan di dalam RUU Perlindungan Anak pasal 39:
- Pengangkatan anak hanya dapat dilakukan untuk
kepentingan yang terbaik bagi anak dan dilakukan berdasarkan adat
kebiasaan setempat dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku
- Pengangkatan anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
tidak memutuskan hubungan darah antara anak yang diangkat dan orangtua
kandungnya
- Calon orangtua angkat harus seagama dengan agama yang
dianut oleh calon anak angkat
- Pengangkatan anak oleh warga negara asing hanya dapat
dilakukan sebagai upaya terakhir
- Dalam hal asal usul anak tidak diketahui, maka agama
anak disesuaikan dengan agama mayoritas penduduk setempat
Hal ini juga diatur dalam pasal 40
dan 41. Di dalam peraturan dan RUU itu jelas diatur bahwa untuk pengangkatan
anak itu harus berlandaskan pada kepentingan terbaik untuk anak dan sesuai
dengan asas perlindungan anak.
Masalah Yang Berkaitan dengan
Pengangkatan Anak
Pengangkatan anak untuk golongan
orang Indonesia Asli ternyata masih berlaku berbeda-beda sesuai dengan hukum
adatnya.
Walaupun pada umumnya dalam hukum
adat tidak disyaratkan adanya surat/akte mengenai pengangkatan anak, namun
kenyataannya banyak dibuat surat dibawah tangan yang disaksikan oleh Kepala
Kampung, Kepala adat setempat atau akte pengangkatan anak oleh Notaris.
Dalam praktek banyak dipermasalahkan
dasar hukum dari pembuatan akta pengangkatan anak di hadapan notaris.
Hukum Islam, tidak mengenal lembaga
pengangkatan anak yang memberikan hak mewarisi. Bahkan untuk daerah-daerah yang
pengaruh hukum Islamnya masih kuat juga tidak mengenal lembaga pengangkatan
anak. Hukum Islam hanya mengenal lembaga pemeliharaan anak terutama anak yatim
piatu.
Langkah Kedepan
Selama
beberapa periode ini langkah administratif baru yant telah ditempuh berupa
Keputusan Menteri Sosial RI No. 13?HUK/93 (tahun 1993) tentang Petunjuk
Pelaksanaan Pengangkatan Anak. Selain itu, perlu disampaikan pula mengenai
Surat Edaran KMA/III/II/1994 (tahun 1994) tentang Pengangkatan Anak yang
diterbitkan oleh Makamah Agung RI.
Selain itu, belum ada langkah baru
yang ditempuh selama periode pelaporan, dan prosedur adopsi dilaksanakan dengan
menggunakan ketentuan-ketentuan yang sudah diberlakukan sebelumnya. Dalam
kaitan ini dapat disampaikan bahwa, akibat dari Peraturan Pemerintah No. 7
tahun 1977 maka praktek pengangkatan anak, terutama oleh pegawai negeri sipil,
mulai menggunakan penetapan pengadilan.
Sehubungan dengan intercountry
adoption, belum ada langkah khusus lain yang ditempuh termasuk pengaturan
bilateral maupun multilateral dengan negara-negara lain.
Akan dilakukan upaya untuk mereview
segenap perundangan dan ketentuan, sistem serta tata cara adopsi yang ada,
untuk memperoleh gambaran yang lebih komprehensif mengenai tingkat
kompleksitasnya terhadap ketentuan dalam Konvensi Hak Anak.
Sementara itu, akan dilakukan pula
upaya administratif dalam kerangka ketentuan yang ada untuk meningkatkan
jaminan perlindungan terhadap anak yang diadopsi, serta terus mengikuti perkembangan
situasi menyangkut kasus adopsi yang terjadi.(YKAI/Idh)