SUBROGASI
DALAM PERTANGGUNGAN
1. Pengertian Subrogasi
Menurut
ketentuan pasal 284 KUHD :
seorang
penanggung yang telah membayar ganti kerugian atas suatu benda yang
dipertanggungkan, menggantikan tertanggung dalam segala hak yang diperolehnya
terhadap pihak ketiga yang telah menimbulkan kerugian tersebut, dan tertanggung
itu bertanggung jawab untuk setiap perbuatan yang dapat merugikan hak
penanggung terhadap pihak ketiga itu. Penggantian kedudukan semacam ini dalam
hukum perdata disebut Subrogasi (subrogatie, subrogation).
Dari
ketentuan pasal tersebut dapat diketahui bahwa supaya ada subrogasi dalam
pertanggungan diperlukan dua syarat yaitu :
a) Tertanggung
mempunyai hak terhadap penanggung dan terhadap pihak ketiga.
b) Adanya hak
tersebut karena timbulnya kerugian sebagai akibat dari perbuatan pihak ketiga.
Dalam
hukum pertanggungan, apabila tertanggung telah mendapatkan hak ganti kerugian
dari penanggung, ia tidak boleh lagi mendapatkan hak dari pihak ketiga yang
telah menimbulkan kerugian itu. Hak terhadap pihak ketiga itu akan beralih
kepada penanggung yang telah memenuhi ganti kerugian terhadap tertanggung.
Adanya
ketentuan yang demikian ini untuk mencegah jangan sampai terjadi bahwa
tertanggung mendapat ganti kerugian yang berlipat ganda, yang bertentangan
dengan asas perseimbangan atau asas memperkaya diri tanpa hak, asas mana
dipegang teguh dalam hukum pertanggungan.
Dalam
melaksanakan hak subrogasi, tertanggung tidak boleh merugikan hak penanggung,
misalnya tertanggung membebaskan pihak ketiga dari kewajiban membayar ganti
kerugian, atau membebaskan pihak ketiga dengan kompensasi hutangnya, sehingga
ketika penanggung akan melaksanakan hak subrogasinya itu terhadap pihak ketiga,
pihak ketiga ini tidak ada sangkut paut lagi dengan tertanggung.
Dalam
hal yang demikian ini, tertanggung harus bertanggung jawab atas perbuatannya
yang merugikan penanggung terhadap pihak ketiga itu.
Apabila
tertanggung merugikan pihak penanggung dalam mewujudkan hak subrogasinya itu,
maka penanggung dapat menuntut ganti kerugian kepada tertanggung yang telah
merugikannya.
Dengan
demikian, tujuan Subrogasi dalam pertanggungan selain untuk mencegah
tertanggung mendapat ganti kerugian yang berlipat ganda juga untuk mencegah
pihak ketiga membebaskan diri dari kewajibannya membayar ganti kerugian.
2. Proses terjadinya subrogasi
Sebagai
contoh proses terjadinya subrogasi menurut pasal 284 KUHD adalah sebagai
berikut :
Sebuah
kendaraan milik A dipertanggungkan terhadap bahaya tabrakan pada perusahaan
pertanggungan B. Kemudian tanpa izin A pemiliknya, kendaraan tersebut dipakai
oleh Indra temannya sendiri. Ketika kendaraan tersebut sedang dipakai C,
terjadilah tabrakan sehingga kendaraan mengalami kerusakan berat.
Dalam
kasus ini A pemilik kendaraan sebagai tertanggung, dapat menempuh dua jalan
guna memperoleh ganti kerugian, yaitu :
a) Menuntut
ganti kerugian kepada penanggung B atas dasar perjanjian pertanggungan,
b) Menuntut
ganti kerugian kepada C pihak ketiga atas dasar perbuatan melawan hukum, pasal
1365 KUHPdt. Apabila A memilih jalan pertama (a), maka hak menuntut ganti
kerugian kepada C berpindah kepada penanggung B. Dalam hal ini tertanggung A
dilarang melakukan perbuatan yang merugikan penanggung B dalam mewujudkan hak
subrogasinya terhadap C (pihak ketiga). Tetapi apabila tertanggung A memilih
cara kedua, yaitu menggugat C untuk mendapat ganti kerugian, maka penanggung B
hanya berkewajiban membayar ganti kerugian yang seharusnya ia ganti, dikurangi
jumlah yang telah diterima A dari C. Jika A menerima ganti kerugian dari C sama
dengan atau lebih besar dari jumlah seharusnya yang dibayar oleh penanggung B,
maka penanggung B dibebaskan sama sekali dari kewajiban membayar ganti
kerugian.
Tetapi
mungkin juga A tidak menuntut sama sekali ganti kerugian kepada penanggung B,
ia hanya menuntut ganti kerugian kepada C pihak ketiga. Disini seolah-olah
tidak ada peristiwa apa-apa, sehingga pertanggungan berjalan seperti biasa.
Dalam hal ini tertanggung A berkewajiban memberitahukan kepada penanggung B
tentang keadaan benda yang dipertanggungkan itu, sehingga penanggung B dapat
mempertimbangkan apakah pertanggungan akan diteruskan, atau dihentikan. Jika
pertanggungan. diteruskan, kerusakan benda pertanggungan itu menjadi tanggung
jawab tertanggung sendiri karena kelalaiannya. Tetapi apabila pertanggungan
dihentikan, penanggung tetap mempunyai hak atas premi yang telah dibayar (pasal
276 KUHD).
Berdasarkan
contoh diatas, seandainya tertanggung A menuntut ganti kerugian kepada
penanggung B, ia akan mendapat ganti kerugian misalnya sejumlah Rp.1.000.000,—
Tetapi karena ia menuntut ganti kerugian kepada C pihak ketiga, ia mendapat
ganti kerugian misalnya Rp.750.000,—. Dalam hal ini penanggung B hanya
berkewajiban membayar ganti kerugian sisanya, yaitu Rp.250.000,—. Tetapi
seandainya jumlah ganti kerugian dari C pihak ketiga itu Rp.1.000.000,— juga,
maka penanggung B dibebaskan.
Mengapa
sebabnya penanggung B dibebaskan? Karena tertanggung sudah mendapat ganti
kerugian dari C pihak ketiga sejumlah sama dengan ganti kerugian yang dapat
diterima oleh tertanggung Amat dari penanggung B. Kalau A masih menuntut juga
ganti kerugian kepada penanggung B, ia harus melepaskan tuntutannya terhadap C
pihak ketiga. Dengan demikian penanggung B memperoleh hak terhadap C pihak
ketiga atas dasar Subrogasi. Apabila hal ini tidak diikuti, berarti tertanggung
A memperoleh keuntungan melebihi dari jumlah sebenarnya yang seharusnya ia
terima.
Jadi
bertentangan dengan asas perseimbangan, asas dipegang teguh dalam
pertanggungan.
3. Subrogasi dalam KUHD adalah bentuk khusus
Subrogasi
yang diatur dalam pasal 284 KUHD merupakan bentuk khusus dari subrogasi yang
diatur dalam KUHPdt. Subrogasi yang diatur dalam KUHPdt adalah mengenai
perjanjian pada umumnya, ketentuan-ketentuan mana tidak berlaku bagi
pertanggungan sebagai bentuk perjanjian khusus.
Kekhususan
subrogasi menurut asaI KUHD adalah sebagai berikut :
a) Dalam
hukum pertanggungan, hak subrogasi itu ada pada Penanggung sebagai pihak kedua
dalam perjanjian pertanggungan. Sedangkan dalam KUHPdt Subrogasi itu justru ada
pada pihak ketiga.
b) Hubungan
hukum dalam Subrogasi pada perjanjian pertanggungan ditentukan oleh
Undang-Undang. Karenanya hak-hak yang berpindah kepada penanggung termasuk juga
hak-hak yang timbul karena- perbuatan melawan hukum. Sedangkan pada Subrogasi
yang diatur dalam KUHPdt semata-mata karena perjanjian. Jadi hak yang berpindah
semata-mata hak yang timbul karena perjanjian.
c) Tujuan
Subrogasi pada perjanjian pertanggungan adalah untuk mencegah timbulnya ganti
kerugian ganda kepada, tertanggung dan mencegah pihak ketiga terbebas dari
kewajibannya.
Kesimpulannya
:
Dari
uraian-uraian yang telah dikemukakan diatas, dapat disimpulkan bahwa Subrogasi
dalam pertanggungan adalah pergantian kedudukan tertanggung oleh penanggung
terhadap pihak ketiga. Subrogasi menjamin berlakunya asas perseimbangan dalam
pertanggungan. Subrogasi terbatas pada hak atas ganti kerugian akibat dari
peristiwa yang menjadi tanggungan penanggung. Subrogasi pada pertanggungan
ditentukan oleh Undang-Undang.
BERAKHIRNYA
PERTANGGUNGAN
Perjanjian
pertanggungan berakhir karena hal yang; berikut ini
1. Tenggang
waktu berlakunya telah habis.
Pertanggungan
biasanya diadakan untuk suatu jangka waktu tertentu misalnya satu bulan, tiga
bulan, enam bulan, satu tahun atau untuk jangka waktu lebih lama. Jangka waktu
ini ditentukan didalam polis. Kitab Undang-undang Hukum Dagang (KUHD) tidak
mengatur secara tegas tentang tenggang waktu pertanggungan.
Lain
halnya dengan pertanggungan di Inggeris, untuk pertanggungan yang ditentukan
jangka waktu berlakunya, tidak boleh melebihi dua Was bulan. Pertanggungan yang
diadakan untuk jangka waktu melebihi dari dua belas bulan adalah batal.
Selain
dari jangka waktu tertentu, ada lagi pertanggungan yang berlakunya itu
berdasarkan pada suatu tenggang waktu perjalanan. Jika perjalanan tersebut
berakhir, atau barang yang ditanggung itu sampai ditempat tujuan, pertanggungan
itu berakhir.
2. Terjadinya
peristiwa yang menimbulkan kerugian
Didalam
polis disebutkan terhadap peristiwa atau bahaya apa pertanggungan itu diadakan.
Apabila sementara pertanggungan .berjalan terjadi peristiwa yang ditanggung itu
dan menimbulkan kerugian, penanggung akan menyelidiki apakah tertanggung
betul-betul mempunyai kepentingan atas benda yang dipertanggungkan itu.
Disamping itu, apakah terjadinya peristiwa itu betul-betul karena bukan
kesalahan tertanggung dan sesuai dengan apa yang telah ditentukan didalam
polis.
Apabila
tertanggung memang mempunyai kepentingan atas benda pertanggungan dan
terjadinya peristiwa yang menimbulkan kerugian itu sesuai dengan ketentuan
didalam polis, dan bukan karena kesalahan tertanggung, maka pertanggungan
berakhir dan diikuti dengan pemberesan pembayaran ganti kerugian berdasarkan
tuntutan dari tertanggung.
Pembayaran
ganti kerugian diperhitungkan sedemikian rupa sesuai dengan isi perjanjian
pertanggungan yang disebutkan didalam polis dan sesuai dengan asas
perseimbangan.
Apabila
tertanggung tidak mempunyai kepentingan atas benda pertanggungan, atau
terjadinya peristiwa karena kesalahan dari tertanggung sendiri, maka penanggung
tidak mempunyai kewajiban membayar ganti kerugian (pasal 250, 276 KUHD).
3. Pertanggungan
berhenti.
Pertanggungan
itu dapat berakhir apabila pertanggungan itu berhenti. Berhentinya
pertanggungan dapat karena persetujuan antara kedua belah pihak, atau karena
faktor-faktor diluar kemauan pihak-pihak.
Pertanggungan
berhenti karena persetujuan kedua belah
pihak, misalnya karena premi tidak dibayar dan ini biasanya
diperjanjikan didalam polis. Pertanggungan berhenti karena faktor-faktor diluar
kematian pihak-pihak, misalnya terjadi pemberatan risiko setelah pertanggungan
berjalan (pasal 293 dan 638 KUHD).
Dalam
hal pemberatan resiko setelah pertanggungan berjalan, seandainya penanggung
mengetahui hal yang demikian itu, ia tidak akan membuat pertanggungan dengan
syarat-syarat dan jani-janji demikian itu. Karena dirasakan sebagai kurang
adil, maka undang-undang menentukan apabila terjadi pemberatan resiko demikian
itu, pertanggungan menjadi berhenti.
4.
Pertanggungan gugur.
Pertanggungan
berakhir karena gugur. Pertanggungan
gugur biasanya terdapat dalam pertanggungan pengangkatan. Apabila barang
yang akan diangkut diadakan pertanggungan, kemudian tidak jadi diangkut, maka
pertanggungan gugur. Tidak jadi diangkut itu karena kapal tidak jadi berangkat
atau baru akan melakukan perjalanan tetapi dihentikan. Disini penanggung belum
menjalani bahaya. (pasal 635 KUHD).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar