Senin, 07 Oktober 2013

Hukum Perdata Internasional


PENGERTIAN

Yang dimaksud dengan “internasional” adalah karena dalam hubungan/peristiwa hukum tersebut mengandung unsur asingnya (Foreign Element). Pada umumnya aturan perdata internasional di Indonesia diatur dalam Algemene Bepalingen (AB). Menyangkut pengertian Hukum Perdata Internasional terdapat 2 (dua) macam aliran :
1. Internasionalitas : harus ada hukum perdata yang berlaku di seluruh dunia/ beberapa negara.
2. Nasionalitas : di setiap negara mempunyai hukum perdata internasional masing-masing. Artinya : setiap negara mempunyai peraturan masing-masing terhadap perbuatan perdata yang mengandung unsur asing.
Beberapa pengertian Hukum Perdata Internasional menurut para ahli hukum :
1. Van Brakel : hukum nasional yang khusus diperuntukkan bagi perkara-perkara internasional.
2. Cheshire : dalam bukunya “Private International Law” mengatakan bahwa cabang dari hukum Inggris yang dikenal sebagai Hukum Perdata Internasional mulai bekerja apabila badan pengadilan dihadapkan dengan gugatan hukum yang mempunyai unsur asing (Foreign Element).
3. Sudargo Gautama : keseluruhan peraturan dan kekhususan hukum yang menunjuk stelsel hukum manakah yang berlaku atau apakah yang merupakan hukum, jika hubungan-hubungan dan peristiwa antara warga-warga negara pada suatu waktu tertentu memperlihatkan titik pertalian-pertalian dengan stelsel-stelsel dengan kaidah-kaidah hukum 2 (dua) atau lebih negara yang berbeda dalam lingkungan, kuasa tempat, pribadi dan soal-soal.

Dalam Hukum Perdata Internasional Indonesia telah terjadi pertentangan istilah (Contraditio In Terminis). Maksudnya bahwa adanya kata “internasional” menunjuk seolah-olah ada hukum perdata yang berlaku di semua negara padahal hukum perdata tersebut (HPI) berlaku di Indonesia.

SUMBER-SUMBER HUKUM PERDATA INTERNASIONAL INDONESIA

Hukum Perdata Internasional Indonesia, sumbernya tersebar di mana-mana, tetapi sumbernya yang utama adalah Algemene Bepalingen khususnya Pasal 16, 17 dan 18. Pasal 16, 17 dan 18 AB merupakan kaidah penunjuk Hukum Perdata Internasional karena menunjuk pada suatu sistem hukum tertentu untuk berlaku. Sedangkan kaidah berdiri sendiri/mandiri tidak menunjuk pada suatu sistem hukum tersendiri tetapi mengatur sendiri. Contoh : Pasal 935 BW tentang testament. Kaidah mandiri mengesampingkan kaidah penunjuk. Contoh : Pasal 935 BW mengesampingkan Pasal 18 AB.

Pasal 16 AB : Lex Partiae
Pasal 17 AB : Lex Rei Sitae
Pasal 18 AB : Lex Loci Actus

RUANG LINGKUP HPI

Ada beberapa aliran :
1. Aliran yang paling sempit dianut oleh Jerman dan Belanda yaitu mencakup Techtstoepassingrecht : hukum yang berlaku untuk menyelesaikan masalah-masalah yang mengandung unsur asing. Dengan demikian aliran sempit ini berbicara mengenai “Choice of Law”.
2. Mengatakan bahwa luas bidang HPI : mengenai hakim mana yang harus menyelesaikan masalah yang memuat unsur asing setelah itu baru dipermasalahkan hukum apa yang diberlakukan terhadap masalah tersebut. Oleh karenanya pada paham atau aliran ini memuat “Choice of Law” dan “Choice of Yuridiction”. Paham kedua ini dianut oleh negara-negara Anglo Saxon.
3. Luas bidang HPI meliputi : hakim mana yang harus menyelesaikan masalah, hukum apa yang digunakan dan status/ kedudukan orang asing tersebut. Aliran ini dianut oleh Italia dan Spanyol.
4. Luas bidang HPI meliputi : hakim mana yang harus menyelesaikan masalah, hukum apa yang digunakan, status/ kedudukan orang asing tersebut dan kewarganegaraan. Aliran ini dianut oleh Perancis.

Apabila dilihat dari ruang lingkup HPI tersebut maka masalah-masalah pokok yang dihadapi oleh HPI yaitu : Pertama, mengenai “Choice of Law” untuk menyelesaikan masalah-masalah yang mengandung unsur asing (foreign element). Sedangkan masalah Kedua, mengenai “Choice of Yuridiction” untuk menyelesaikan masalah yang mengandung unsur asing. Ketiga, sejauh mana keputusan hakim dari suatu negara diakui mengenai hak dan kewajiban yang timbul dari keputusan tersebut.
Dua kelompok besar peraturan :
1. Hukum Materiel Intern : Sachnormen
2. Hukum Perdata Internasional : Kollisionnormen

SUMBER-SUMBER HPI
1. Tertulis : UU, Trakat
2. Tidak Tertulis : Yurisprudensi, Kebijaksanaan

TITIK PERTALIAN

Titik pertalian adalah hal-hal atau keadaan-keadaan yang dapat menunjukkan adanya kaitan antara-antara fakta-fakta yang ada di dalam suatu perkara dengan suatu tempat/ sistem hukum yang harus atau mungkin untuk dipergunakan.
Untuk mengetahui hukum apa yang harus diberlakukan di dalam menyelesaikan perkara-perkara yang mengandung unsur asing, hakim harus mencari titik taut yang ada atau berkaitan di dalam masalah HPI tersebut dengan melihat kepada titik-titik pertalian yang ada.

Titik Pertalian Primer

Titik pertalian primer merupakan titik taut yang menentukan bahwa peristiwa tersebut merupakan HPI. Jadi, TPP melahirkan HPI. Fungsi TPP adalah untuk menentukan ada tidaknya peristiwa HPI. Titik pertalian primer disebut juga Titik Taut Pembeda/Point of Contact/Aanknoping Spunten.
TPP (foreign element) meliputi :
1. Kewarganegaraan;
2. Bendera kapal;
3. Domisili;
4. Tempat kediaman;
5. Tempat kedudukan;
6. Hubungan hukum di dalam hubungan intern.
Contoh hubungan hukum di dalam hubungan intern : Dua orang WNI di Indonesia melakukan perjanjian bisnis mengenai barang yang berasal dari Luar Negeri.

Titik Pertalian Sekunder

Titik pertalian sekunder adalah hal-hal atau keadaan-keadaan yang menentukan berlakunya suatu sistem hukum tertentu di dalam hubungan HPI. Titik taut penentu ini menentukan hukum apa yang harus diberlakukan di dalam menyelesaikan masalah-masalah HPI. Dalam persoalan HPI dimungkinkan juga Titik Taut Primer (TTP) merupakan TTS dalam hal mengenai :
1. Kewarganegaraan;
2. Bendera kapal;
3. Domisili;
4. Tempat kediaman;
5. Tempat kedudukan;
Sebenarnya TTS dalam HPI amat sangat banyak, terutama selain hal-hal di atas :
6. Letak dari benda;
7. Tempat dilaksanakan kontrak (ditandatangani kontrak);
8. Tempat pelaksanaan dari pada perjanjian (realisasi perjanjian); - Lex Loci Solutionis –
9. Tempat di mana perbuatan melanggar hukum itu dilakukan (Tatort);
10. Party Autonomy – Choice of Law – Pilihan Hukum/ Rechtskause; Pilihan hukum yang ditentukan oleh kedua belah pihak dalam perjanjian. Kecuali, bila pilihan hukum itu melanggar Order Public/ kepentingan umum maka hakim dapat menyimpang dari pilihan hukum tersebut. Pilihan hukum hanya untuk perbuatan hukum kontrak.

HPI terdiri dari :
1. HPI materiil/substantif :
a. Subyek hukum;
b. Hukum keluarga;
c. Hukum harta benda : benda, kontrak;
d. Hukum waris.
2. HPI formil/ obyektif :
a. Renvoi;
b. Kualifikasi;
c. Ketertiban umum;
d. Fraus legis;
e. Hak-hak yang diperoleh;
f. Persoalan pendahuluan;
g. Persesuaian;
h. Persoalan timbal-balik;
i. Pilihan hukum.

STATUS PERSONAL (SP)

Mengenai SP dalam HPI di Indonesia diatur dalam Pasal 16 AB. Dalam ketentuan Pasal 16 AB terhadap SP diberlakukan hukum sesuai kewarganegaraannya.
SP adalah keadaan-keadaan yang menunjukkan adanya kaitan antara fakta-fakta mengenai pribadi yang ada di dalam suatu perkara dengan sistem hukum yang berlaku. Dengan demikian pada dasarnya SP merupakan suatu kondisi dari suatu pribadi di dalam hukum yang diakui oleh negara untuk mengamankan serta melindungi masyarakat. Dengan demikian SP meliputi masalah mengenai cukup umur/tidak, kekuasaan orang tua, pengampuan, keabsahan seorang anak, adopsi, perkawinan, perceraian dan sebagainya sehingga yang termasuk dalam status personal adalah keadaan-keadaan suatu pribadi di luar perjanjian.
Di dalam HPI, status personal ada dua asas :
1. Asas Kewarganegaraan : SP seseorang di atur menurut kewarganegaraannya/ nasionalnya. Asas ini dianut oleh negara-negara dengan sistem hukum Eropa Kontinental.
2. Asas Teritorialites : SP dari seseorang mengikuti hukum di mana ia berdomisili. Asas ini dianut oleh negara-negara dengan sistem hukum Anglo Saxon.

Untuk menentukan kewarganegaraan dari seseorang berlaku Asas Ius Soli dan Ius Sanguinis. Di negara Inggris, pengertian dari domisili ada 3 macam :
1. Domicilie of origin : domisili seseorang berdasarkan asalnya.
2. Domicilie of choice : domisili yang dipilih seseorang.
3. Domicilie of Dependence : domisili dari seseorang berdasarkan domisili orang lain. Contoh : domisili anak berdasarkan domisili orang tua.
Pemakaian asas-asas SP ini, apabila diterapkan secara ketat akan menimbulkan kelemahan-kelemahan. Kelemahan-kelemahan yang timbul apabila SP seseorang digunakan asas nasionalitas secara ketat maka akan menimbulkan :
1. Renvoi terhadap WNA yang di negaranya menganut Asas Domisili;
2. Dalam hal seseorang tidak mempunyai kewarganegaraan. Dalam hal demikian untuk menentukan SP seseorang harus meminta bantuan Asas Domisili.
3. Di dalam hal suatu keluarga mempunyai kewarganegaraan yang berbeda-beda maka terhadap status personal seharusnya dipergunakan status domisili.
Kelemahan-kelemahan yang terjadi dalam penentuan SP, jika yang dipakai Asas Domisili secara ketat maka akan terjadi :
1. Renvoi apabila asas domisili diterapkan kepada seseorang yang menganut asas nasionalitas meskipun secara faktual ia berdomisili di tempat yang bukan nasionalnya.
2. Asas domisili ini kurang permanen, karena dimungkinkan seseorang mempunyai domisili yang tidak tetap.
Alasan-alasan yang mendukung Asas Nasionalitas :
1. Asas nasionalitas sangat cocok untuk perasaan hukum dari seseorang;
2. Asas nasionalitas lebih permanen;
3. Asas nasionalitas membawa kepastian hukum yang lebih banyak.
Alasan-alasan yang mendukung Asas Domisili :
1. Hukum domisili merupakan hukum di mana seseorang yang sesungguhnya hidup;
2. Asas kewarganegaraan seseorang memerlukan bantuan Asas Domisili;
3. Hukum Domisili sering tidak rigid dengan hukum dari si hakim (Lex Fori);
4. Asas Domisili akan membantu bagi mereka yang bipatrit.

Dengan adanya perkembangan ekonomi global banyak orang-orang asing yang menanamkan modalnya di Indonesia termasuk mereka yang mengadakan “Joint Venture” perlu dipertanyakan hukum apa yang mengatur mengenai hak dan kewajiban badan hukum yang mengandung unsur asing. Untuk menentukan badan hukum yang mempunyai SP berlaku beberapa macam asas yaitu :
1. Prinsip kewarganegaraan/ domisili dari sebagian besar pemegang sahamnya; Asas ini merupakan asas tertua di dalam menentukan hak dan kewajiban badan hukum yang mengandung unsur asing. Kelemahan dari asas ini muncul apabila kewarganegaraan dari berbagai warga negara asing;
2. Asas Centre of Administration/ of Bussiness : bahwa untuk menentukan status dan wewenang suatu badan hukum mengikuti hukum di mana pusat dari administrasi badan hukum tersebut terletak;
3. Asas Place of Incorporation : untuk menentukan status dan kewenangan yuridis suatu badan hukum ditentukan berdasarkan hukum dari tempat/ negara di mana badan hukum tersebut didirikan secara sah. Asas ini dianut oleh Indonesia;
4. Asas Central of Eksplotation : untuk menentukan status dan wewenang yuridis badan hukum harus ditentukan berdasarkan tempat/ negara di mana perusahaan tersebut memusatkan kegiatan eksploitasi atau memproduksi barang-barangnya. Di dalam penerapan Asas Central of Eksplotation akan mengalami kesulitan apabila perusahaan tersebut mempunyai cabang yang tersebar di mana-mana.

Menurut S. Gautama mengenai SP ini, terhadap WNI yang di luar negeri diberlakukan hukum Indonesia, akan tetapi terhadap WNA di Indonesia, meskipun berdasarkan Pasal 16 AB mengenai status personalnya harus diberlakukan hukum nasionalnya, namun apabila orang asing tersebut telah berada di Indonesia lebih dari 2 (dua) tahun, sebaiknya bagi WNA tersebut, untuk status personalnya diberlakukan hukum domisili (Hukum Indonesia).

ASAS-ASAS HPI DALAM HUKUM KONTRAK

Persoalan pokok di dalam hukum kontrak yang mengandung unsur-unsur asing, adalah penentuan “The Proper Law of Contract” (PLOC). Penentuan PLOC menjadi masalah apabila di dalam kontrak tersebut tak ada “Choice of Law”. Secara teoritis, penentuan PLOC ada bermacam-macam teori :
1. Teori Lex Loci Contractus
Teori tertua yang menyatakan bahwa hukum yang harus diberlakukan sebagai PLOC adalah hukum dari negara di mana kontrak tersebut ditandatangani. Kelemahan dari teori ini apabila terjadi para pihak tidak bertemu sehingga perjanjian dilakukan melalui email/telegram/fax.
2. Teori Lex Loci Solutionis
Menurut teori ini untuk menentukan PLOC adalah mengunakan hukum di mana pelaksanaan kontrak tersebut dilakukan. Kelemahan teori ini apabila pelaksanaan dari kontrak dilakukan di berbagai negara.
3. Teori Party Autonomy
Teori ini berasal dari suatu Asas Kebebasan Berkontrak dari para pihak. Di dalam teori ini para pihak boleh memilih hukum apa yang harus diberlakukan di dalam menyelesaikan masalah-masalah di dalam kontrak, asal pilihan hukum tersebut tidak bertentangan dengan kepentingan umum (public order) dan hukumnya si hakim (Lex Fori).
4. Teori Most Characteristic Connection
Di dalam teori ini untuk menentukan PLOC sebaiknya ditentukan terlebih dahulu titik-titik taut yang secara fungsional menunjukkan adanya kaitan antara kontrak tersebut dengan hubungan sosial yang akan diatur oleh hukum tertentu. Dengan demikian harus berusaha menemukan kaidah-kaidah yang merupakan hakekat dari suatu hubungan hukum sehingga hubungan hukum tersebut menjadi khas. Misalnya : di dalam kontrak yang berupa jual beli, hubungan hukum yang merupakan inti adalah perbuatan dari si penjual. Oleh karena itu, menurut teori ini, hukum si penjual yang diberlakukan sebagai PLOC.

RENVOI

Adalah penunjukan kembali kepada sistem hukum yang semula menunjuk. Renvoi terjadi disebabkan karena di dalam penentuan SP negara-negara di dunia ada yang menganut Asas Domisili dan Asas Nasionalitas.





Renvoi Transmision





Gesant Verweisong : penunjukan (oleh negara A) terhadap Kollisionnorm (negara B).
Sachnormen Verweisong : penunjukan kembali (oleh negara B) terhadap Sachnormen (negara A).
Sikap menerima renvoi :
1. Penunjukan pertama (negara A) diarahkan pada Kollisonnormen (negara B).
2. Penunjukan kedua (negara B) diarahkan pada Sachnormen (negara A).
Sikap hakim menolak renvoi : penunjukan pertama diarahkan pada Sachnormen.

KUALIFIKASI

Kualifikasi adalah tindakan mengelompokkan fakta-fakta yang ada di dalam suatu peristiwa hukum ke dalam kategori hukum yang sudah ada. Fungsi kualifikasi : untuk menemukan hukum yang harus diterapkan terhadap peristiwa hukum tersebut. Pada dasarnya kualifikasi dibagi atas :
1. Kualifikasi fakta;
2. Kualifikasi hukum.
Masalah kualifikasi dalam HPI lebih rumit dibandingkan kualifikasi dalam persoalan hukum intern. Hal ini disebabkan karena :
1. Berbagai sistem hukum mempergunakan terminologi yang sama untuk menyatakan sesuatu yang berbeda. Contoh : Pengertian “domisili”.
2. Berbagai sistem hukum untuk menyatakan sesuatu/peristiwa yang sama tetapi diartikan dengan hal yang berbeda. Contoh : kedudukan istri bisa juga sebagai pewaris, bisa juga tidak.
3. Berbagai sistem hukum menempuh prosedur yang berbeda untuk menghasilkan sesuatu yang pada dasarnya sama. Contoh : hibah, berbeda antara Inggris dan Indonesia.

Konflik kualifikasi : pertentangan kualifikasi antar negara. Di dalam terjadinya kesulitan melakukan kualifikasi pada peristiwa HPI, pada dasarnya yang menjadi masalah pokok adalah :
1. Akan dikualifikasikan sebagai apa, fakta-fakta yang ada di dalam suatu peristiwa HPI;
2. Apa yang harus dilakukan oleh hakim/forum dalam hal terjadi suatu konflik kualifikasi.
Di dalam HPI kualifikasi ada bermacam-macam :
1. Kualifikasi Lex Fori; Penganut-penganut dari Lex Fori menyatakan juga bahwa ada pengecualiannya, yaitu mengenai masalah hakekat dari suatu benda, haruslah dikualifikasi berdasarkan Lex Sitae. Keunggulan pemakaian Lex Fori : hakim lebih mengerti hukumnya sendiri. Kelemahan Lex Fori : akan menimbulkan suatu ketidakadilan karena yang diterapkan bukan hukum negaranya sendiri.
2. Kualifikasi Lex Causa; Menurut Suryadi Hartono, kualifikasi berdasarkan Lex Causa sulit diterapkan bila sistem hukum asing tidak lengkap sistem kualifikasinya/ tidak mengenal lembaga hukum tersebut. Oleh karena itu, hakim akan melakukan suatu konstruksi-konstruksi hukum atau suatu analogi terhadap peristiwa-peristiwa hukum yang terjadi yang sejenis, bagaimana penyelesaian hukumnya. Apabila hakim tidak menemukan peristiwa-peristiwa yang sejenis dalam permasalahan maka hakim barulah melakukan kualifikasi berdasarkan Lex Fori.
3. Kualifikasi Bertahap; Kualifikasi ini terdiri dari dua tahap yaitu :
a. Kualifikasi primer : hakim/forum mempergunakan kualifikasi secara Lex Fori. Kualifikasi ini untuk menemukan Lex Causa.
b. Kualifikasi sekunder : setelah Lex Causa ditemukan maka forum akan menggunakan kualifikasi berdasarkan Lex Causa.
4. Kualifikasi Otonom : Pada kualifikasi ini, forum mempergunakan metode perbandingan hukum. Teori perbandingan hukum ini dilakukan untuk mencari pengertian-pengertian HPI yang dapat berlaku di negara-negara manapun. Oleh karena itu, maka kualifikasi otonom ini sulit dilakukan karena hakim harus mengetahui semua sistem hukum di negara-negara dunia. Tujuan dilakukan kualifikasi otonom adalah menciptakan suatu sistem hukum HPI yang utuh dan sempurna yang memuat konsep-konsep dasar yang bersifat mutlak dan sempurna. Kualifikasi ini muncul, karena adanya konsep negara supranasional.
5. Kualifikasi HPI : Di dalam kualifikasi HPI bertitik tolak dari adanya pandangan bahwa setiap kualifikasi berdasarkan HPI dianggap mempunyai tujuan tertentu yang ingin dicapai dalam melakukan kualifikasi terhadap suatu peristiwa hukum. Adapun tujuan-tujuan yang ingin dicapai di dalam konteks kepentingan HPI mencakup :
a. Untuk kepentingan keadilan dalam pergaulan internasional;
b. Untuk terjadinya kepastian hukum dalam pergaulan internasional;
c. Untuk terjadinya ketertiban dalam pergaulan internasional;
d. Untuk terjadinya kelancaran di dalam lalu lintas pergaulan internasional.
Di dalam kualifikasi HPI, harus ditentukan terlebih dahulu, kepentingan HPI yang mana, yang ingin dicapai di dalam pelaksanaan kualifikasi tersebut.

KETERTIBAN UMUM

Ketertiban umum penting karena
Kegen mengatakan bahwa kepentingan umum berkaitan dengan hal-hal yang tidak dapat disentuh dari ketentuan-ketentuan Lex Fori sehingga menyebabkan ketentuan asing yang seharusnya diberlakukan tetapi tidak dapat diberlakukan karena bertentangan dengan asas-asas HPI Lex Fori.
Menurut Sunaryo Hartono mengatakan bahwa, sukar untuk memberikan rumusan apa yang dimaksudkan dengan ketertiban umum, karena hal tersebut berhubungan dengan waktu, tempat dan falsafah negara yang bersangkutan.
Sedangkan Gautama mengatakan bahwa, lembaga kepentingan umum haruslah berfungsi sebagai rem darurat dalam suatu kereta api yang tidak boleh dipergunakan setiap saat. Karena kalau digunakan setiap saat akan mengganggu pergaulan internasional.
Dengan demikian, apakah suatu sistem hukum asing yang seharusnya diberlakukan dalam menyelesaikan masalah HPI harus selalu dipergunakan ? Jawaban-nya tidak, hukum asing tidak selalu dipakai, apabila bertentangan dengan kepentingan umum dari hukum si forum.
Berdasarkan asas tradisional, fungsi dari kepentingan umum, ada dua macam yaitu :
1. Fungsi positip : untuk menjaga agar hukum tertentu dari forum tetap diberlakukan, tidak dikesampingkan sebagai akibat penentuan dari hukum asing yang diberlakukan yaitu untuk menghindarkan pemberlakuan dari aturan-aturan hukum asing tersebut akan mengakibatkan terjadinya pelanggaran dari asas-asas HPI forum.
2. Fungsi negatip.

Pertanyaan : Apakah hubungan antara Fraus Legis dan Hak-hak yang diperoleh ? Apakah perbedaan antara Fraus Legis dan Ketertiban Umum ?
Baik pada penyelundupan hukum dan kepentingan umum tetap memakai Hukum Lex Fori dengan mengesampingkan hukum asing.
Fraus Legis bertentangan dengan hak-hak yang diperoleh dengan mengesamping-kan Lex Fori. Perbedaan Fraus Legis dan Kepentingan Umum : pada Fraus Legis seharusnya hukum asing diberlakukan tetapi karena penyelundupan hukum maka tidak dipakai, dan hukum asing tersebut tetap dapat dipakai terhadap perbuatan-perbuatan lain yang bukan penyelundupan hukum. Sedangkan pada Kepentingan Umum, hukum asing yang harus diberlakukan tidak boleh diberlakukan karena bertentangan dengan Lex Fori.
Fraus Legis adalah suatu perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghindarkan pemberlakuan sistem hukum tertentu yang seharusnya berlaku, sehingga dengan dilakukannya perbuatan tersebut baginya diberlakukan hukum lain dari yang seharusnya berlaku.
Di Perancis, berlaku suatu Asas Fraus Legis Omnia Corrumpit, artinya suatu perbuatan yang merupakan penyelundupan hukum mengakibatkan perbuatan hukum tersebut secara keseluruhan tidak berlaku atau tidak sah.

PILIHAN HUKUM

Asas-asas yang berkaitan dengan kontrak :
1. Pacta Sunt Servanda;
2. Kebebasan berkontrak;
3. Itikad baik para pihak;
4. Konsensus.

Di dalam pilihan hukum hanya dilakukan terhadap suatu kontrak. Berarti hukum yang sudah dipilih oleh para pihak merupakan hukum yang harus diberlakukan (PLOC). Kontrak yang tidak dapat dilakukan pilihan hukum antara lain :
1. Kontrak kerja internasional;
2. Jual beli senjata.
Pilihan hukum juga tidak dapat diberlakukan jika bertentangan dengan kepentingan umum (orde public) dari Lex Fori dan merupakan penyelundupan hukum.
Pilihan hukum hanya dapat dilakukan terhadap kelompok Sachnormen dari suatu sistem hukum tertentu, bukan ke arah Kollisionorm. Hal ini dilakukan untuk menghindari terjadinya Renvoi. Suatu pilihan hukum hanya dapat dilakukan untuk mengatur hak dan kewajiban yang timbul di dalam suatu kontrak, bukan untuk mengatur validitas pembentukan dari suatu perjanjian. Suatu pilihan hukum hanya dilakukan terhadap arah suatu sistem hukum yang berkaitan secara substansial dari kontrak tersebut, misalnya : kewarganegaraan, pusat administrasi, dan sebagainya.
Macam-macam pilihan hukum :
1. Pilihan hukum secara tegas : hukum yang dipilih untuk mengatur hak dan kewajiban yang dilakukan dinyatakan secara tegas dalam kontrak.
2. Pilihan hukum secara diam-diam : hukum yang dipilih oleh mereka, dapat hakim simpulkan dari sikap mereka di dalam bentuk dan isi kontrak yang mereka buat. Contoh : bahwa isi kontrak berdasarkan Pasal 1338 BW. Hakim melihat adanya kata “BW” menunjukkan sistem hukum yang menggunakan BW.
3. Pilihan hukum secara dianggap berlaku : suatu bentuk pilihan hukum yang dilakukan terhadap suatu perbuatan tertentu dari suatu sistem hukum tertentu sehingga mereka para pihak dianggap memilih suatu pilihan hukum tertentu. Contoh : perjanjian bagi hasil yang pembayarannya dengan cek. Perjanjian bagi hasil pada umumnya tunduk pada hukum adat, namun pembayarannya dengan “cek” dianggap mereka memilih sistem hukum yang pembayarannya dengan cek.
4. Pilihan hukum secara hypothetisch : pada pilihan hukum ini, para pihak justru tidak melakukan pilihan hukum terhadap suatu sistem hukum tertentu melainkan hakimlah yang melakukan pilihan hukum dalam rangka menyelesaikan sengketa yang terjadi di dalam suatu kontrak.

PERSOALAN PENDAHULUAN (VORFRAGE)

Persoalan pendahuluan adalah persoalan atau masalah yang harus dikerjakan terlebih dahulu sebelum hakim memutuskan masalah pokok (Mainfrage).
Contoh 1 :




Keterangan Kasus :
A warga negara Italy
B warga negara Swiss
A dan B domisili dan kawin di Swiss
C warga negara Swiss
D warga negara Spanyol
A dan B cerai di Swiss
B akan menikah dengan C
A menikah dengan D
Gugatan : B menggugat A bahwa pernikahan A dan D tidak sah, maka untuk menyelesaikan kasus tersebut maka hakim harus melihat terlebih dahulu persoalan pendahuluannya yaitu :
1. Apakah cerai A dan B sah?
2. Apakah perkawinan A dan B sah?

Contoh 2 : Persoalan pendahuluan yang berkaitan dengan Fraus Legis.
A (paman) hendak menikah dengan B (keponakan). Keduanya warga negara Israel (Yahudi) yang berdomisili di Amerika Serikat. Menurut hukum AS, keduanya tidak boleh menikah karena masih ada hubungan darah, padahal menurut hukum Yahudi diperbolehkan. Untuk itu mereka pindah ke Rhode Icelands dan menikah secara Yahudi di sana. Setelah menikah di sana mereka balik lagi ke Amerika.
Setelah 32 tahun kemudian, B meninggal dunia dan meninggalkan Suami (A) dan 6 orang anak serta harta warisan yang semuanya dikuasai oleh A. Anak-anak tidak puas atas penguasaan harta warisan oleh ayahnya dan menggugat ke Pengadilan AS bahwa Si A tidak berhak menguasai harta warisan karena pernikahannya merupakan Fraus Legis. Persoalan pendahuluan : Apakah pernikahan A dan B sah ?

Di dalam pemecahan masalah pendahuluan pada dasarnya ada dua cara :
1. Absorbsi : di dalam memecahkan persoalan pendahuluan, forum harus mencari Lex Causa di dalam persoalan pokok. Lex Causa ditemukan didasarkan pada fakta-fakta (Titik Pertalian). Setelah Lex Causa ditemukan maka persoalan pendahuluan diselesaikan berdasarkan Lex Causa tersebut.
2. Repartition : di dalam forum memecahkan/menyelesaikan persoalan pendahuluan, forum tidak perlu mencari Lex Causa, akan tetapi untuk menyelesaikan persoalan pendahuluan, forum menggunakan Lex Fori, kemudian untuk menyelesaikan masalah pokok forum mempergunakan Lex Causa.
Para ilmuwan mengenai persoalan pendahuluan ini, menyatakan bahwa untuk menentukan adanya suatu persoalan pendahuluan harus memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu, yaitu :
1. Di dalam persoalan HPI tersebut harus dipergunakan hukum asing;
2. Bahwa dari HPI hukum asing tersebut harus berlainan hasilnya dari kaidah-kaidah forum;
3. Bahwa hukum materiel intern dari kedua stelsel hukum tersebut juga harus berbeda.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar