Hukum Perdata adalah ketentuan yang mengatur hak-hak dan kepentingan antara
individu-individu dalam masyarakat.
Dalam tradisi hukum di daratan Eropa (civil law)
dikenal pembagian hukum menjadi dua yakni hukum
publik dan hukum
privat atau hukum perdata. Dalam sistem Anglo
Sakson (common law)
tidak dikenal pembagian semacam ini.
Hukum perdata
Salah satu bidang
hukum yang mengatur hubungan-hubungan antara individu-individu dalam masyarakat
dengan saluran tertentu. Hukum perdata disebut juga hukum privat atau hukum
sipil. Salah satu contoh hukum perdata dalam masyarakat adalah jual beli rumah
atau kendaraan .
Hukum perdata dapat
digolongkan antara lain menjadi:
Sejarah Hukum Perdata
Hukum perdata Belanda
berasal dari hukum perdata Perancis yaitu Code Napoleon yang disusun
berdasarkan hukum Romawi Corpus
Juris Civilis yang pada waktu itu dianggap sebagai hukum yang
paling sempurna. Hukum Privat yang berlaku di Perancis dimuat dalam dua
kodifikasi yang disebut Code Civil
(hukum perdata) dan Code de Commerce (hukum dagang). Sewaktu Perancis menguasai Belanda (1806-1813), kedua
kodifikasi itu diberlakukan di negeri Belanda yang masih dipergunakan terus
hingga 24 tahun sesudah kemerdekaan Belanda dari Perancis (1813)
Pada Tahun 1814
Belanda mulai menyusun Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Sipil) atau KUHS
Negeri Belanda, berdasarkan kodifikasi hukum Belanda yang dibuat oleh MR.J.M.
KEMPER disebut ONTWERP KEMPER namun sayangnya KEMPER meninggal dunia [1924]
sebelum menyelesaikan tugasnya dan dilanjutkan oleh NICOLAI yang menjabat
sebagai Ketua Pengadilan Tinggi Belgia. Keinginan Belanda tersebut terealisasi
pada tanggal 6 Juli 1880 dengan pembentukan dua kodifikasi yang baru
diberlakukan pada tanggal 1 Oktober 1938 oleh karena telah terjadi
pemberontakan di Belgia yaitu :
Kodifikasi ini menurut
Prof Mr J, Van Kan BW adalah merupakan terjemahan dari Code Civil hasil
jiplakan yang disalin dari bahasa Perancis ke dalam bahasa nasional Belanda
KUHPerdata
Yang dimaksud dengan
Hukum perdata Indonesia adalah hukum perdata yang berlaku bagi seluruh Wilayah
di Indonesia. Hukum perdata yang berlaku di Indonesia adalah hukum perdata
barat [Belanda] yang pada awalnya berinduk pada Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata yang aslinya berbahasa Belanda atau dikenal dengan Burgerlijk Wetboek
dan biasa disingkat dengan B.W. Sebagian materi B.W. sudah dicabut berlakunya
& sudah diganti dengan Undang-Undang RI misalnya mengenai UU Perkawinan, UU
Hak Tanggungan, UU Kepailitan.
Pada 31 Oktober 1837,
Mr.C.J. Scholten van Oud Haarlem di angkat menjadi ketua panitia kodifikasi
dengan Mr. A.A. Van Vloten dan Mr. Meyer masing-masing sebagai anggota yang
kemudian anggotanya ini diganti dengan Mr. J.Schneither dan Mr. A.J. van Nes.
Kodifikasi KUHPdt. Indonesia diumumkan pada tanggal 30 April 1847 melalui Staatsblad No. 23 dan berlaku
Januari 1948.
Setelah Indonesia
Merdeka berdasarkan aturan Pasal 2 aturan peralihan UUD 1945, KUHPdt. Hindia
Belanda tetap dinyatakan berlaku sebelum digantikan dengan undang-undang baru
berdasarkan Undang – Undang Dasar ini. BW Hindia Belanda disebut juga Kitab
Undang – Undang Hukun Perdata Indonesia sebagai induk hukum perdata Indonesia.
Isi KUH Perdata
KUH Perdata terdiri
dari 4 bagian yaitu :
1.
Buku 1 tentang Orang
2.
Buku 2 tentang Benda
3.
Buku 3 tentang
Perikatan
4.
Buku 4 tentang
Daluwarsa dan Pembuktian
Hukum perdata di
Indonesia pada dasarnya bersumber kepada Staatsblaad nomor 23 tahun 1847
tentang burgerlijk wetboek voor Indonesie atau biasa disingkat sebagai
BW/KUHPer. BW/KUHPer sebenarnya merupakan suatu aturan hukum yang dibuat oleh
pemerintah Hindia Belanda yang ditujukan bagi kaum golongan warganegara bukan
asli yaitu dari Eropa, Tionghoa dan juga timur asing. Namun demikian
berdasarkan kepada pasal 2 aturan peralihan Undang-undang Dasar 1945, seluruh
peraturan yang dibuat oleh pemerintah Hindia-Belanda berlaku bagi warga negara
Indonesia(azas konkordasi). Beberapa ketentuan yang terdapat didalam BW pada
saat ini telah diatur secara terpisah/tersendiri oleh berbagai peraturan
perundang-undangan. Misalnya berkaitan tentang tanah, hak tanggungan dan
fidusia.
Buku pertama mengatur
tentang orang sebagai subyek hukum, hukum perkawinan dan hukum keluarga,
termasuk waris.
Bab I – Tentang
menikmati dan kehilangan hak-hak kewargaan
Bab II – Tentang
akta-akta catatan sipil
Bab III – Tentang
tempat tinggal atau domisili
Bab IV – Tentang
perkawinan
Bab V – Tentang hak
dan kewajiban suami-istri
Bab VI – Tentang
harta-bersama menurut undang-undang dan pengurusannya
Bab VII – Tentang
perjanjian kawin
Bab VIII – Tentang
gabungan harta-bersama atau perjanjian kawin pada perkawinan kedua atau
selanjutnya
Bab IX – Tentang
pemisahan harta-benda
Bab X – Tentang
pembubaran perkawinan
Bab XI – Tentang pisah
meja dan ranjang
Bab XII – Tentang
keayahan dan asal keturunan anak-anak
Bab XIII – Tentang
kekeluargaan sedarah dan semenda
Bab XIV – Tentang
kekuasaan orang tua
Bab XIVA – Tentang
penentuan, perubaran dan pencabutan tunjangan nafkah
Bab XV – Tentang
kebelumdewasaan dan perwalian
Bab XVI – Tentang
pendewasaan
Bab XVII – Tentang
pengampuan
Bab XVIII – Tentang ketidakhadiran
Buku kedua mengatur
mengenai benda sebagai obyek hak manusia dan juga mengenai hak kebendaan. Benda
dalam pengertian yang meluas merupakan segala sesuatu yang dapat dihaki
(dimiliki) oleh seseorang. Sedangkan maksud dari hak kebendaan adalah suatu hak
yang memberikan kekuasaan langsung atas suatu benda yang dapat dipertahankan kepada
pihak ketiga. Buku kedua tentang benda pada saat ini telah banyak berkurang,
yaitu dengan telah diaturnya secara terpisah hal-hal yang berkaitan dengan
benda (misal dengan Undang-undang No.5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok
Agraria, Undang-undang N0. 4 tahun 1996 tentang Hak Tanggungan . Dalam hal
telah diatur secara terpisah oleh suatu peraturan perundang-undangan maka
dianggap pengaturan mengenai benda didalam BW dianggap tidak berlaku.
Bab I – Tentang barang
dan pembagiannya
Bab II – Tentang besit
dan hak-hak yang timbul karenanya
Bab III – Tentang hak
milik
Bab IV – Tentang hak
dan kewajiban antara para pemilik pekarangan yang bertetangga
Bab V – Tentang kerja
rodi
Bab VI – Tentang
pengabdian pekarangan
Bab VII – Tentang hak
numpang karang
Bab VIII – Tentang hak
guna usaha (erfpacht)
Bab IX – Tentang bunga
tanah dan sepersepuluhan
Bab X – Tentang hak
pakai hasil
Bab XI – Tentang hak
pakai dan hak mendiami
Bab XII – Tentang
pewarisan karena kematian
Bab XIII – Tentang
surat wasiat
Bab XIV – Tentang
pelaksana surat wasiat dan pengelola harta peninggalan
Bab XV – Tentang hak
berpikir dan hak istimewa untuk merinci harta peninggalan
Bab XVI – Tentang hal
menerima dan menolak warisan
Bab XVII – Tentang
pemisahan harta peninggalan
Bab XVIII – Tentang
harta peninggalan yang tak terurus
Bab XIX – Tentang
piutang dengan hak didahulukan
Bab XX – Tentang gadai
Bab XXI – Tentang
hipotek
Buku mengatur tentang
perikatan (verbintenis). Maksud penggunaan kata “Perikatan” disini lebih luas
dari pada kata perjanjian. Perikatan ada yang bersumber dari perjanjian namun
ada pula yang bersumber dari suatu perbuatan hukum baik perbuatan hukum yang
melanggar hukum (onrechtmatige daad) maupun yang timbul dari pengurusan
kepentingan orang lain yang tidak berdasarkan persetujuan (zaakwarneming). Buku
ketiga tentang perikatan ini mengatur tentang hak dan kewajiban yang terbit
dari perjanjian, perbuatan melanggar hukum dan peristiwa-peristiwa lain yang
menerbitkan hak dan kewajiban perseorangan.
Buku ketiga bersifat
tambahan (aanvulend recht) sehingga terhadap beberapa ketentuan, apabila
disepekati secara bersama oleh para pihak maka mereka dapat mengatur secara
berbeda dibandingkan apa yang diatur didalam BW. Sampai saat ini tidak terdapat
suatu kesepakatan bersama mengenai aturan mana saja yang dapat disimpangi dan
aturan mana yang tidak dapat disimpangi. Namun demikian, secara logis yang
dapat disimpangi adalah aturan-aturan yang mengatur secara khusus (misal :
waktu pengalihan barang dalam jual-beli, eksekusi terlebih dahulu harga
penjamin ketimbang harta si berhutang). Sedangkan aturan umum tidak dapat disimpangi
(misal : syarat sahnya perjanjian, syarat pembatalan perjanjian).
Bab I – Tentang
perikatan pada umumnya
Bab II – Tentang
perikatan yang lahir dari kontrak atau persetujuan
Bab III – Tentang
perikatan yang lahir karena undang-undang
Bab IV – Tentang hapusnya
perikatan
Bab V – Tentang
jual-beli
Bab VI – Tentang
tukar-menukar
Bab VII – Tentang
sewa-menyewa
Bab VIIA – Tentang
perjanjian kerja
Bab VIII – Tentang
perseroan perdata (persekutuan perdata)
Bab IX – Tentang badan
hukum
Bab X – Tentang
penghibahan
Bab XI – Tentang
penitipan barang
Bab XII – Tentang
pinjam-pakai
Bab XIII – Tentang
pinjam pakai habis (verbruiklening)
Bab XIV – Tentang
bunga tetap atau bunga abadi
Bab XV – Tentang
persetujuan untung-untungan
Bab XVI – Tentang
pemberian kuasa
Bab XVII – Tentang
penanggung
Bab XVIII – Tentang
perdamaian
Buku keempat mengatur
tentang pembuktian dan daluarsa. Hukum tentang pembuktian tidak saja diatur
dalam hukum acara (HIR) namun juga diatur didalam Kitab Undang-undang Hukum
Perdata. Didalam buku keempat ini diatur mengenai prinsip umum tentang
pembuktian dan juga mengenai alat-alat bukti. Dikenal adanya 5 macam alat bukti
yaitu :
a. Surat-surat
b. Kesaksian
c. Persangkaan
d. Pengakuan
e. Sumpah
Daluarsa (lewat waktu)
berkaitan dengan adanya jangka waktu tertentu yang dapat mengakibatkan
seseorang mendapatkan suatu hak milik (acquisitive verjaring) atau juga karena
lewat waktu menyebabkan seseorang dibebaskan dari suatu penagihan atau tuntutan
hukum (inquisitive verjaring). Selain itu diatur juga hal-hal mengenai
“pelepasan hak” atau “rechtsverwerking” yaitu hilangnya hak bukan karena
lewatnya waktu tetapi karena sikap atau tindakan seseorang yang menunjukan
bahwa ia sudah tidak akan mempergunakan suatu hak.
Bab I – Tentang
pembuktian pada umumnya
Bab II – Tentang
pembuktian dengan tulisan
Bab III – Tentang
pembuktian dengan saksi-saksi
Bab IV – Tentang
persangkaan
Bab V – Tentang
pengakuan
Bab VI – Tentang
sumpah di hadapan hakim
Bab VII – Tentang
kedaluwarsa pada umumnya
PERIHAL
ORANG DALAM HUKUM (SUBYEK HUKUM)
Dalam hukum, perkataan
orang (persoon) berarti sebagai pembawa hak atau disebut juga sebagai subyek
hukum. Saat ini boleh dikatakan bahwa tiap manusia itu dapat bertindak sebagai
pembawa hak atau subyek hukum. Beberapa abad silam, kedudukan manusia belumlah
seperti saat ini, dimana pada masa itu masih ada status manusia yang tidak
dapat menjadi pembawa hak atau subyek hukum, mereka itulah yang dikenal dengan
“budak atau hamba sahaya”. Hal yang berkaiatan dengan kehilangan kedudukan
sebagai subyek hukum adalah “kematian perdata”, yakni hukuman yang menyatakan
sesorang tidak dapat memiliki sesuatu hak lagi. Hal ini pun sudah tidak berlaku
lagi saat ini. Yang dimungkinkan saat ini ialah pencabutan hak untuk sementara
waktu bagi para terhukum (narapidana), seperti pencabutan kekuasaan sebagai
wali, dan hak untuk masuk TNI.
Berlakunya seseorang
sebagai pembawa hak atau subyek hukum dimulai sejak dilahirkan sampai meninggal
dunia, bahkan untuk kasus tertentu dapat ditarik mundur pada saat masih dalam
kandungan dengan catatan setelah dilahirkan bayi tersebut terus hidup..
Meskipun menurut hukum
saat ini sudah tidak ada lagi orang yang tidak dapat bertindak sebagai pembawa
hak atau subyek hukum namun tidak semua orang diperkenankan untuk bertindak
atau melakukan perbuatan hukum sendiri.Hal ini ditujukan bagi orang-orang yang
dianggap “tidak cakap hukum” atau “kurang cakap hukum”. Mereka ini dalah
orang-orang yang masih di bawah umur atau belum dewasa dan oarng yang gila
dimana harus selalu diwakili oleh orangtua, wali atau kuratornya.
Menurut KUHPerdata
(BW), yang dimaksud orang yang masih di bawah umur adalah mereka yang belum
mencapai usia 21 tahun kecuali mereka telah kawin. Yang menjadi catatan khusus
dalam BW adalah bagi para perempuan yang telah kawin tidak diperkenankan
melakukan perbuatan hukum sendiri tetapi harus dibantu oleh suaminya. Istri di
sini masuk dalam kategori sebagai orang yang dianggap kurang cakap hukum untuk
bertindak sendiri. Selain itu di dalam BW terdapat berbagai pasal yang secara
khusus membedakan antara kecakapan laki-laki dan perempuan, misalnya :
1.
Seorang perempuan
dapat kawin jika ia sudah berumur 15 tahun, sedangkan laki-laki jika ia sudah
berumur 18 tahun;
2.
Seorang perempuan
tidak diperbolahkan kawin lagi sebelum lewat 300 hari setelah perkawinan
diputuskan, sedangkan untuk laki-laki tidak terdapat larangan seperti itu;
3.
Seorang laki-laki baru
diperbolehkan mengakui seseorang sebagai anaknya, jika ia sudah berusia paling
sedikit 19 tahun, sedangkan untuk perempuan tidak ada pembatasan seperti itu.
Di samping orang atau
manusia yang dapat bertindak sebagai pembawa hak atau subyek hukum, masih ada
pihak lain yang dapat bertindak sebagai pembawa hak atau subyek hukum, yakni
badan atau perkumpulan. Badan atau perkumpulan ini dapat mempunyai kekayaan
sendiri serta ikut serta dalam lalu lintas hukum dengan perantaraan para
pengurusnya, bahkan dapat bertindak sebagai penggugat atau tergugat di muka
pengadilan. Badan atau perkumpulan ini disebut dengan Badan Hukum atau rechtspersoon. Badan hukum di sini dapat dalam bentuk
PT,CV,Koperasi,Yayasan, Partai Politik dan sebagainya asalkan telah memiliki
legitimasi yang disahkan oleh lembaga atau departemen terkait.
Sebagai pembawa hak
atau subyek hukum, baik orang maupun badan hukum harus memiliki tempat tinggal,
kedudukan, atau domisili. Hal ini diperlukan untuk menetapkan beberapa hal
apabila terkait dengan kasus atau persoalan hukum. Sebagian orang mempunyai
domisili mengikuti orang lain, misalnya seorang istri mengikuti domisili
suaminya, seorang anak yang masih di bawah umur mengikuti domisili orangtuanya,
dan orang yang di bawah pengawasan mengikuti domisili kuratornya. Ada juga
domisili yang dipilih karena behubungan dengan suatu urusan, misalnya dua pihak
dalam suatu kontrak memilih domisili di kantor seorang notaries atau di kantor
kepaniteraan Pengadilan Negeri. Hal ini dimaksudkan agar memudahkan kedua pihak
jika terjadi perkara di pengadilan.
Orang yang sudah mati
pun memerlukan domisili untuk mennetukan proses pembagian waris berpatokan pada
hukum mana. Di sinilah yang dimaksud dengan “rumah kematian” dalam KUHPerdata
untuk memudahkan proses hukum yang berkaitan dengan orang yang sudah meninggal.
HUKUM PERKAWINAN
Perkawinan ialah
pertalian yang sah antara seorang lelaki dan seorang perempuan untuk waktu yang
lama.KUHPerdata hanya memandang perkawinan dalam hubungan keperdataan
sebagaimana diatur dalam Pasal 26 BW. Dalam pasal tersenut dinyatakan bahwa
perkawinan akan sah manakala memenuhi syarat-syarat dalam BW dan
mengesampingkan syarat-syarat lainnya termasuk peraturan agama. Asas yang
berlaku dalam BW adalah asas monogamy. Artinya apabila ada sesorang yang
berpoligami maka hal tersebut masuk dalam pelanggaran ketertiban umum dan
dibatalkan. Adapun syarat-syarat perkawinan dalam BW adalah :
1.
Kedua pihak telah
cukup umur, yakni 18 tahun untuk lelaki dan 15 tahun untuk perempuan;
2.
Harus ada persetujuan
kedua belah pihak;
3.
Untuk perempuan yang
pernah kawin maka harus melewati terlebih dahulu 300 hari untuk dapat kawin
lagi;
4.
Tidak ada larangan
dalam UU bagi kedua pihak;
5.
Untuk pihak yang masih
di bawah umur harus ada izin dari orangtua atau walinya.
Sebelum perkawinan
dilangsungkan harus dilakukan terlebih dahulu :
1.
Pemberitahuan
(aangifte) tentang kehendak akan kawin kepada pegawai pencatatan sipil;
2.
Pengumuman
(afkondiging).
BW memberikan kepada
beberapa orang untuk mencegah atau menahan (stuiten) dilangsungkannya
perkawinan, yaitu :
1.
Suami atau istri serta
anak-anak dari pihak yang hendak kawin;
2.
Orangtua kedua pihak;
3.
Jaksa.
Di negara kita yang
masih menjunjung tinggi adat ketimuran, menjadi
persoalan yang sensitif ketika salah seorang calon pasangan berniat
mengajukan untuk membuat perjanjian pra nikah. perjanjian pranikah
(Prenuptial Agreement) menjadi suatu hal yang tidak lazim dan dianggap tidak
biasa, kasar, materialistik, juga egois, tidak etis, tidak sesuai dengan
adat timur dan lain sebagainya
Karena pernikahan
dianggap sebagai sesuatu yang sakral, maka perjanjian pranikah masih dianggap
sebagai urusan duniawi yang tidak sepantasnya dibicarakan dan dilakukan. Karena
kalau dilakukan, lalu akan muncul pertanyaan apa bedanya dengan
perjanjian-perjanjian yang biasa dilakukan
oleh dua orang yang melakukan transaksi bisnis?
1. Apa yang dimaksud
dengan perjanjian pra nikah?
Prenuptial Agreement
atau perjanjian pra nikah adalah perjanjian yang dibuat sebelum dilangsungkannya
pernikahan dan mengikat kedua calon mempelai yang akan menikah, isinya mengenai
masalah pembagian harta kekayaan diantara suami istri yang meliputi apa yang
menjadi milik suami atau isteri dan apa saja yang menjadi tanggung jawab suami
dan isteri, ataupun berkaitan dengan harta bawaan masing-masing pihak agar bisa
membedakan yang mana harta calon
istri dan yang mana harta calon suami, jika terjadi perceraian atau kematian disalah
satu pasangan.
Biasanya perjanjian
pra nikah dibuat untuk kepentingan perlindungan hukum terhadap harta bawaan
masing-masing, suami ataupun istri. Memang pada awalnya perjanjian pranikah
banyak dipilih oleh kalangan atas yang yang memiliki warisan besar.
2. Apakah membuat
perjanjian pra nikah dibenarkan secara hukum dan agama?
Membuat perjanjian pra
nikah diperbolehkan asalkan tidak bertentangan dengan hukum, agama dan
kesusilaan, nilai-nilai moral dan adat istiadat. Hal ini telah diatur sesuai
dengan pasal 29 ayat 1 UU No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan, yaitu:”Pada waktu
atau sebelum perkawinan dilangsungkan, keduabelah pihak atas persetujuan
bersama dapat mengajukan perjanjian
tertulis yang disahkan oleh pegawai Pencatat perkawinan setelah mana isinya berlaku
juga terhadap pihak ketiga tersangkut”. dalam penjelasan pasal 29 UU No.1/1975
tentang perkawinan, dikatakan Yang dimaksud dengan perjanjian dalam pasal ini
tidak termasuk Taklik Talak.
Dalam ayat 2
dikatakan: perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilemana melanggar
batas-batas hukum agama dan kesusilaan.
Selain itu Kompilasi
Hukum Islam juga memperbolehkan Perjanjian pra nikah sebagaimana dikatakan
dalam pasal 47 ayat : “Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan kedua
calon mempelai dapat membuat perjanjian tertulis yang disahkan Pegawai Pencatat
Nikah mengenai kedudukan harta dalam perkawinan”
Konsep perjanjian pra
nikah awal memang berasal dari hukum perdata barat KUH Per. Tetapi UU No.1/1974
tentang Perkawinan ini telah mengkoreksi ketentuan KUH Per (buatan Belanda)
tentang perjanjian pra nikah. Dalam pasal 139 KUHPer: “Dengan mengadakan
perjanjian kawin, kedua calon suami isteri adalah berhak menyiapkan beberapa
penyimpangan dari peraturan perundang-undangan sekitar persatuan harta kekayaan
asal perjanjia itu tidak menyalahi tata susila yang baik atau tata tertib umum
dan asal diindahkan pula segala ketentuan di bawah ini, menurut pasal
berikutnya”
Bila dibandingkan maka
KUH Per hanya membatasi dan menekankan perjanjian pra nikah hanya pada
persatuan harta kekayaan saja, sedangkan dalam UU Perkawinan bersifat lebih
terbuka, tidak hanya harta kebendaan saja yang diperjanjikan tetapi juga bisa
diluar itu sepanjang tidak bertentangan dengan hukum, agama dan kesusilaan,
nilai-nilai moral dan adat istiadat
Secara agama,
khususnya agama islam dikatakan dalam AQ Al-baqarah :2 dan Hadits: bahwa setiap
Mukmin terikat dengan perjanjian mereka masing-masing.
Maksudnya, jika seorang Mukmin sudah berjanji harus dilaksanakan. Perjanjian pranikah
tidak diperbolehkan bila perjanjian tersebut menghalalkan yang haram dan mengharamkan
yang halal, contohnya : perjanjian pranikah yang isinya, jika suami meninggal
dan mereka tidak dikaruniai anak, warisan mutlak jatuh pada istrinya. Padahal
dalam Islam, harta suami yang meninggal
tanpa dikaruniai seorang anak tidak seluruhnya jatuh kepada sang istri, masih
ada saudara kandung dari pihak suami ataupu orangtua suami yang masih hidup.Hal
diatas adalah “menghalalkan yang haram” atau contoh lain Perkawinan dengan
dibatasi waktu atau namanya nikah mut’ah (kawin kontrak). Suatu Pernikahan
tidak boleh diperjanjikan untuk bercerai”
Dalam agama katolik,
perjanjian perkawinan yang penting adalah dimana pria dan wanita yang melakukan
perkawinan akan membentuk kebersamaan seluruh hidup (Consorsium totius Vitac)
diantara mereka menurut sifat kodratnya terarah pada kesejahteraan suami isteri
serta pada kelahiran dan pendidikan anak. Sementara untuk agama Hindu, hukum
yang mengatur khusus tentang perjanjian perkawinan tidak ada, tetapi yang jelas
apabila ada perjanjian yang dibuat bertentangan dengan larangan dalam agama
Hindu maka perjanjian itu tidak sah. Begitu pula dengan agama budha, menurut
hukum perkawinannya (HPAB) yang telah disahkan pada tanggal 1 Januari 1977,
tidak ada aturan khush tentang perjanjian perkawinan, dimana berarti terserah
para pihak yang bersangkutan asal perjanjian yang diabuat tidak bertentangan
dengan agama Budha Indonesia, UU No. /1975 dan kepentingan Umum (Prof. Hilman
Hadikusuma, SH, Hukum perkawinan Indonesia menurut perundang-undangan, hukum
adat dan hukum agama, CV. Maju
Mandar, Bandung, 1990, hlm. 60)
3. Apa Saja Isi
Perjanjian Pranikah?
Isi Perjanjian pra
nikah diserahkan pada pihak calon pasangan yang akan menikah dengan syarat
isinya tidak boleh bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, hukum dan
agama, Seperti telah dijelaskan diatas dalam point 1.
Bahwa perjanjian pra
nikah dasarnya adalah bentuk kesepakatan maka ia termasuk dalam hukum
perjanjian buku III KUHPer, sebagaimana Pasal 1338 : para pihak yang berjanji
bebas membuat perjanjian selama tidak melanggar kesusilaan, ketertiban umum dan
undang-undang.
Biasanya berisi
pengaturan penyelesaian dari masalah yang kira-kira akan timbul selama masa
perkawinan, antara lain :
- Tentang pemisahan
harta kekayaan.
Pemisahan harta
kekayaan yang diperoleh sebelum pernikahan yaitu segala harta benda yang
diperoleh sebelum pernikahan dilangsungkan atau yang biasa disebut harta bawaan
yang didalamnya bisa termasuk harta warisan atau hibah, disebutkan dalam harta
apa saja yang sebelumnya dimiliki suami atau isteri.
Pemisahan harta pencaharian/pendapatan yang diperoleh selama pernikahan atau mengenai
tidak adanya percampuran harta pendapatan maupun aset-aset baik selama
pernikahan itu berlangsung maupun apabila terjadi perpisahan,perceraian, atau
kematian.
Tetapi untuk hal pemisahan pendapatan para pihak tidak boleh melupakan hak dan
kewajiban suami sebagai kepala rumah tangga, seperti dikatakan dalam Pasal 48
ayat 1 Kompilasi Hukum Islam: “Apabila dibuat perjanjian perkawinan mengenai
pemisahan harta bersama atau harta syarikat, maka perjanjian tersebut tidak
boleh menghilangkan kewajiban suami untuk memenuhi kebutuhan RT”.
Dalam ayat 2
dikatakan: “Apabila perjanjian perkawinan tidak memenuhi ketentuan tersebut
dalam ayat 1 dianggap tetap terjadi pemisahan harta bersama atau harta syarikat
dengan kewajiban suami menanggung biaya kebutuhan RT”. Untuk biaya kebutuhan RT
istri dapat membantu suami dalam
menanggung biaya kebutuhan RT, hal mana bisa diperjanjikan dalam perjanjian pra
nikah. Atau mungkin dalam rangka proses cerai, ingin memisahkan harta, bisa
saja diperjanjiankan tentang bagaimana cara pembagian harta.
- Pemisahaan harta
juga termasuk pemisahan utang, jadi dalam perjanjian pranikah bisa juga diatur
mengenai masalah utang yang akan tetap menjadi tanggungan dari pihak yang
membawa atau mengadakan utang itu. Utang yang dimaksud adalah utang yang
terjadi sebelum pernikahan, selama masa pernikahan, setelah perceraian, bahkan
kematian .
HUKUM KELUARGA
1. Keturunan
Seorang anak sah (wettig kind) ialah anak yang dianggap lahir dari
perkawinan yang sah antara ayah dan ibunya. Kepastian seorang anak
sungguh-sungguh anak sang ayah tentunya sulit untuk ditentukan secara
sederhana. Untuk mengatasi hal tersebut KUHPerdata menetapkan suatu tenggang
kandungan yang paling lama, yaitu 300 hari dan suatu tenggang kandungan yang
paling pendek, yaitu 180 hari. Seorang anak yang lahir 300 hari setelah
perkawinan orangtuanya dihapuskan, maka anak tersebut adalah anak yang tidak
sah. Namun jika seorang anak dilahirkan sebelum lewat 180 hari setelah
perkawinan orangtuanya, maka ayahnya (suami) berhak menyangkal sahnya anak
tersebut, kecuali jika sudah mengetahui bahwa istrinya mengandung sebelum
perkawinan berlangsung atau jika si ayah (suami) hadir pada waktu dibuatnya
surat kelahiran dan ditandatanganinya.
Anak yang lahir di
luar perkawinan dinamakan “naturlijk kind”. Ia dapat diakui atau tidak diakui oleh ayah atau ibunya.
Menurut sistem KUHPerdata dengan adanya keturunan di luar perkawinan saja belum
terjadi suatu hubungan keluarga antara anak dengan orangtuanya. Barulah dengan
“pengakuan” (erkenning)
lahir suatu pertalian kekeluargaan dengan akibat diterimanya harta warisan dari
orangtua yang mengakuinya. Tetapi suatu hubungan kekeluargaan antara anak
dengan keluarga si ayah atau ibu yang mengakuinya belum juga ada, kecuali
apabila telah dilakukannya “pengesahan” anak (wettiging) yang merupakan suatu langkah lanjutan setelah pengakuan. Untuk
pengesahan ini diperlukan kedua orangtua yang telah mengakui anaknya, melakukan
perkawinan secara sah. Pengakuan yang dilakukan pada hari perkawinan juga
membawa pengesahan anak. Jika pada saat perkawinan tersebut kedua orangtua itu
belum melakukan pengakuan terhadap anaknya yang lahir sebelum perkawinan, maka
pengesahan anak hanya dapat dilakukan dengan “surat-surat pengesahan” (brieven van wettiging) dari kepala negara.
Perlu diketahui bahwa
KUHPerdata tidak membolehkan pengakuan terhadap anak-anak yang dilahirkan dari
perbuatan zina (overspel)
atau anak yang dilahirkan dari hubungan antara dua orang yang dilarang kawin.
2. Kekuasaan orangtua
Seorang anak yang sah
sampai pada waktu ia mencapai usia dewasa atau kawin, berada di bawah kekuasaan
orangtuanya selama kedua orangtua itu terikat dalam hubungan perkawinan.
Kekuasaan orangtua itu tidak saja meliputi diri si anak, tetapi juga meliputi
benda atau kekayaan si anak itu. Kekuasaan orangtua terhadap anak dapat
dibebaskan manakala orangtua tersebut dianggap tidak cakap/mampu untuk
memelihara serta mendidik anak.Namun jika orangtua melakukan perlawanan maka
kejaksaan tidak dapat memaksa. Selain itu kekuasaan orangtua dapat dicabut
berdasarkan keputusan Hakim dengan alasan sesuai UU.
3. Perwalian
Perwalian (voorgdij) adalah pengawasan terhadap anak di bawah
umur yang tidak berada di bawah kekuasaan orangtuanya serta pengurusan benda
atau kekayaan anak itu diatur oleh UU. Anak yang berada di bawah perwalian
adalah : (1) anak sah yang kedua orangtuanya telah dicabut kekuasaanya sebegai
orangtua,(2)anak sah yang orangtuanya telah bercerai,(3) anak yang lahir di
luar perkawinan.
4. Pendewasaan
Dalam hal-hal yang
sangat penting, adakalanya dirasakan perlu untuk mempersamakan anak yang masih
di bawah umur dengan orang dewasa agar anak tersebut dapat bertindak sendiri di
dalam mengurus kepentingannya. Untuk memenuhi hal tersebut diadakanlah
peraturan tentang “handlichting”,
yaitu suatu pernyataan tentang seorang anak yang belum dewasa sepenuhnya atau
beberapa hal saja dipersamakan dengan orang dewasa. Permohonan untuk
dipersamakan dengan orang dewasa dapat dilakukan oleh anak yang telah berusia
20 tahun dan diajukan kepada Presiden yang akan memberikan keputusannya setelah
mendengar nasehat dari MA. Namun untuk persoalan perkawinan, tetap masih
memerlukan izin orangtua.
5.Pengampuan
Orang dewasa yang
menderita sakit ingatan harus berada di bawah pengampuan atau curatele. Permintaan untuk berada di bawah pengampuan
ini harus diajukan kepada Pengadilan Negeri dan jika diterima akan diumumkan
dalam Berita Negara.
6. Orang yang hilang
Jikalau seseorang
meninggalkan tempat tinggalnya tanpa memberikan kuasa kepada orang lain untuk
mengurus kepentingannya, maka atas permintaan orang yang berkepentingan atau
atas permintaan jaksa, Hakim untuk sementara dapat memerintahkan Balai Harta
Peninggalan (weeskamer)
untuk mengurus kepentingan tersebut. Jika kekayaan orang yang hilang tersebut
tidak terlalu besar maka pengurusannya dapat diserahkan kepada keluarganya.
Jika telah lewat 5 tahun terhitung sejak hilang, maka orang-orang yang
berkepentingan dapat meminta pada Hakim untuk mengeluarkan pernyataan yang
menerangkan orang yang hilang tersebut telah meninggal.
Untuk orang hilang
yang disebabkan mengurus kepentingannya, maka untuk meminta surat pernyataan
Hakim harus terlebih dahulu menunggu selama 10 tahun. Hal ini juga biperuntukan
bagi suami atau istri yang ditinggal pergi itu untuk dapat meminta izin kawin
lagi.
Sumber :
Subekti, Pokok-Pokok
Hukum Perdata, Intermasa,1994, Jakarta.
HUKUM BENDA
Benda (zaak) dalam ari
sempit dapat diartikan sebagai barang yang terlihat saja. Adapun dalam
pengertian yang luas ialah segala sesuatu yang dapat dihaki oleh orang. Di sini
benda mengandung arti sebagai obyek dalam hukum.
Undang-undang membagi
benda dalam beberapa macam :
1.
Benda yang dapat
diganti (seperti :uang) dan yang tidak dapat diganti (seperti :kuda).
2.
Benda yang dapat
diperdagangkan dan yang tidak dapat diperdagangkan (seperti : jalan).
3.
Benda yang dapat
dibagi (seperti :beras) dan yang tidak dapat dibagi (seperti:binatang).
4.
Benda yang bergerak
(seperti alat rumah tangga) dan yang tidak bergerak (seperti tanah).
Benda pada point ke 4
adalah yang paling penting sebab memiliki implikasi dalam hukum.
Pengertian benda yang
tidak bergerak (onroerend)
memilki beberapa sebab, yaitu :
1.
Karena sifatnya,
contoh tanah dan segala macam benda atau tumbuhan yang ada di atas tanah
tersebut.
2.
Karena tujuan
pemakaiannya, seperti mesin pabrik. Meskipun pada prinsipnya mesin pabrik dapat
digerakan atau dipindahkan namun karena pada umumnya mesin pabrik dipergunakan
dalam jangka waktu yang lama dan tidak dipindah-pindahkan maka termasuk benda
yang tidak bergerak dengan sebab tujuan pemakaiannya.
3.
Karena ditentukan oleh
UU, yaitu segala hak atau penagihan yang mengenai suatu benda yang tidak
bergerak. Contoh hak penagihan untuk pengembalian atau penyerahan benda yang
tidak bergerak.
Adapun pengertian
benda yang bergerak, juga memiliki beberapa sebab, yaitu :
1.
Karena sifatnya,yaitu
benda yang tidak tergabung dengan tanah atau dimaksudkan untuk mengikuti tanah
atau bangunan. Contoh alat rumah tangga.
2.
Karena penetapan UU,
contoh penagihan mengenai sejumlah uang atau suatu benda yang bergerak, surat
obligasi negara dan sebagainya.
Beberapa hak kebendaan
Hak kebendaan (zakelijk recht) ialah suatu hak yang memberikan kekuasaan
langsung atas suatu benda, yang dapat dipertahankan terhadap tiap orang.
1.
Bezit. Hak ini
merupakan hak khusus yang terdapat dalam hukum barat. Hak bezit secara
sederhana dapat diartikan sebagai hak penguasaan terhadap suatu benda baik
bergerak maupun tidak bergerak yang dilindungi oleh hukum tanpa mempersoalkan
kepemilikan yang sesungguhnya. Bezit dapat juga diartikan sebagai “menduduki”.
Contoh nya ialah apabila terdapat sarang tawon di pohon, lalu kita mengambil
sarang tawon tersebut dan kita kuasai dan kemudian kita jual, maka hal tersebut
merupakan hak bezit yang kita dapatkan.
Bezit atas suatu benda
yang tidak bergerak memberikan hak-hak sebagai berikut :
1.
§ Seorang bezitter (yang menduduki) tidak dapat
diusir begitu saja oleh si pemilik, tetapi harus digugat di depan hakim.
§ Seorang bezitter berhak atas penghasilan benda
yang selama ini dikuasainya dan tidak perlu untuk mengembalikan kepada si
pemilik asli meskipun bezitter tersebut dikalhkan dalam pengadilan.
§ Seorang bezitter dapat memperoleh hak milik
jika si pemilik asli telah begitu lama dan lewat batas waktu tidak mengurusi
benda tidak bergerak tersebut.
§ Seorang bezitter dapat meminta perlindungan
kepada hakim jika mengalami gangguan.
1.
Eigendom, yaitu hak
yang palin sempurna atas suatu benda. Seseorang yang memiliki hak ini dapat
berbuat apa saja berkaitan dengan benda tersebut, seperti menjaul, menggadai,
menyewakan bahkan merusaknya. Hak eigendom dapat diperoleh melalui beberapa
cara yaitu :
§ Pengambilan, contoh membuka lahan tanah baru,
dan memancing ikan.
§ Natrekking yaitu jika suatu benda bertambah
luas karena perbuatan alam, contoh tanah yang menjadi lebih luas setelah
terjadi longsor.
§ Lewat waktu.
§ Pewarisan.
§ Penyerahan.
Hak-hak kebendaan di atas benda orang lain
1.
Erfdienstbaarheid atau
servituut, yaitu suatu beban yang yang diletakan di atas suatu pekarangan untuk
keperluan suatu pekarangan lain yang berbatasan. Contohnya ialah hak untuk
mengalirkan air di saluran air yang terletak di atas pekarangan orang lain.
2.
Hak opstal, yaitu hak
untuk memiliki bangunan atau tanaman di atas tanah orang lain.
3.
Hak erfacht, yaituhak
untuk menarik penghasilan seluas-luasnya untuk waktu yang lama dari sebidang
tanah milik orang lain dengan kewajiban membayar sewa.
4.
Hak vruchtgebruik,
yaitu hak untuk menarik penghasilan dari benda milik orang lain dengan kewajiban
menjaga agar benda tersebut tetap dalam keadaan semula.
5.
Pandrecht yaitu
dikenal pula dengan istilah hak gadai.
6.
Hypotheek, yaitu hak
atas benda yang tidak bergerak bertujuan untuk mengambil pelunasan suatu hutang
dari benda itu. Hak ini sama dengan hak pandrecht hanya berbeda pada jenis
bendanya.
Lahirnya UU No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok
Agraria
Dengan lahirnya UU
tersebut, maka Buku II KUHPerdata (BW) sepanjang mengenai bumi, air serta
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya tidak berlaku lagi kecuali hypotheek yang tetap berlaku. Berdasarkan UU
tersebut hak atas tanah meliputi :
1.
Hak milik, yaitu hak
turun temurun terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai oleh orang atas tanah,
dengan mengingat bahwa semua hak tanah itu mempunyai fungsi sosial.
2.
Hak Guna Usaha, yaitu
hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh negara dalam jangka
waktu paling lama 25 tahun atau 35 tahun dan dapat diperpanjang.
3.
Hak Pakai, yaitu hak
untuk menggunakan atau memungut hasil tanah yang dikuasai langsung oleh negara
atau tanah milik orang lain yang memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan
oleh keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang atau oelh pemiliknya.
4.
Hak Sewa, yaitu hak
mempergunakan tanah milik orang lain oleh sesorang atau badan hukum untuk
keperluan bangunan dengan membayar pada pemiliknya sejumlah uang sebagai sewa.
HAND OUT
HUKUM WARIS
Berbicara mengenai
hukum waris di Indonesia, maka kita harus berhadapan dengan 2 (dua) sistem
hukum waris yang berlaku di Indonesia, yaitu:
1. sistem hukum waris
perdata Barat yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata Indonesia dan
2. sistem hukum waris secara Islam, yang masih terbagi dalam beberapa mashab,
yaitu:
a. Perhitungan waris berdasarkan Mashab Syafei
b. Perhitungan waris berdasarkan Mashab Hambali
c. Perhitungan waris berdasarkan Kompilasi Hukum Islam
Pembahasan kita kali
ini adalah sistem pewarisan menurut hukum perdata Barat, yang terutama berlaku
untuk warga negara Indonesia yang beragama selain Islam, atau yang bagi yang
beragama Islam namun “menundukkan ” diri ke dalam hukum pewarisan perdata
Barat.
Menurut Kitab
Undang-Undang Hukum perdata barat (untuk selanjutnya akan lebih mudah jika kita
sebut “BW” atau Burgerlijk Wetboek”, prinsip dari pewarisan adalah:
1. Harta Waris baru terbuka (dapat diwariskan kepada pihak lain) apabila
terjadinya suatu kematian. (pasal 830 BW)
2.Adanya hubungan darah di antara pewaris dan ahli waris, kecuali untuk suami
atau isteri dari pewaris. (pasal 832 BW)
Sebagai konsekwensi
dan kedua hal tersebut maka, dapat diartikan bahwa dalam hal pemilik harta
masih hidup, dia tidak dapat mewariskan apapun kepada ahli warisnya. Sehingga,
dalam hal terjadi suatu pemberian atas suatu barang kepada keturunannya yang
ditujukan agar keturunannya dapat memiliki hak atas barang tersebut setelah
meninggal dunia (dalam bentuk hibah misalnya) maka hal tersebut dianggap
sebagai “Hibah Wasiat”. Dimana barang tersebut baru beralih pada saat pemberi
hibah telah meninggal dunia.. Dalam hal pemberian barang tersebut diberikan
pada saat si pemberi barang masih hidup, tanpa diberikan suatu imbalan berupa
uang, maka hal tersebut disebut sebagai “Hibah” saja. Mengenai hibah ini akan
saya bahas lebih detil pada section tersendiri.
Kembali lagi kepada
prinsip pewarisan, yaitu mengenai “hubungan darah”/ Berdasarkan Prinsip
tersebut, maka yang berhak mewaris hanyalah orang-orang yang mempunyai hubungan
darah dengan pewaris. Baik itu berupa keturunan langsung. maupun orang tua,
saudara, nenek/kakek atau keturunannya dari saudara-saudaranya. Sehingga,
apabila dimasukkan dalam kategori, maka yang berhak mewaris adalah:
1. Golongan I, yang
terdiri dari: suami/isteri yang hidup terlama dan anak2 serta cucu (keturunan)
pewaris (dalam hal anak pewaris meninggal dunia). (pasal 852 BW)
2. Golongan II adalah:
orang tua dan saudara kandung dari pewaris termasuk keturunan dari saudara
kandung pewaris. (pasal 854 BW) Golongan II ini baru bisa mewarisi harta
pewaris dalam hal golongan I tidak ada sama sekali. Jadi, apabila masih ada ahli
waris golongan I, maka golongan I tersebut “menutup” golongan yang diatasnya
3.Golongan III :
Keluarga dalam garis lurus ke atas sesudah bapak dan ibu pewaris (pasal .
Contohnya: kakek dan nenek pewaris, baik dari pihak ibu maupun dari pihak
bapak. Mereka mewaris dalam hal ahli waris golongan I dan golongan II tidak ada
4.GolonganIV
-Paman dan bibi pewaris baik dari pihak bapak maupun dari pihak ibu
-keturunan paman dan bibi sampai derajat ke enam dihitung dari pewaris
- saudara dari kakek dan nenek beserta keturunannya, sampai derajat ke enam di
hitung
dari pewaris.
Bagaimana dengan anak
angkat?
Karena prinsip dari pewarisan adalah adanya hubungan darah, maka secara hukum
anak angkat atau anak tiri (yang bukan keturunan langsung dari pearis ) tidak
berhak mendapatkan warisan secara langsung dari pewaris. Namun dimungkinkan
bagi anak angkat tersebut untuk menerima warisan dengan cara pemberian Hibah
atau “Hibah wasiat” (pasal 874 BW).
Hubungan persaudaraan
bisa berantakan jika masalah pembagian harta warisan seperti rumah atau tanah
tidak dilakukan dengan adil. Untuk menghindari masalah, sebaiknya pembagian
warisan diselesaikan dengan adil. Salah satu caranya adalah menggunakan Hukum
Waris menurut Undang-Undang (KUH Perdata).
Banyak permasalahan
yang terjadi seputar perebutan warisan, seperti masing-masing ahli waris merasa
tidak menerima harta waris dengan adil atau ada ketidaksepakatan antara
masing-masing ahli waris tentang hukum yang akan mereka gunakan dalam membagi
harta warisan.
Keluarga Bambang
(bukan nama sebenarnya) di Solo, misalnya. Mereka mempunyai permasalahan
seputar warisan sejak 7 tahun yang lalu. Awalnya keluarga ini tidak mau membawa
masalah ini ke meja hijau tapi sayangnya, ada beberapa ahli waris yang
beritikad buruk. Karena itu keluarga Bambang akhirnya memutuskan untuk
menyelesaikan masalah ini melalui jalur hukum. Hingga awal tahun 2006, kasusnya
masih dalam tingkat banding di Pengadilan Tinggi setempat dan belum ada
putusan.
Ilustrasi ini hanya
satu dari banyak masalah harta waris yang masuk ke pengadilan. Mengingat
banyaknya kasus semacam ini, ada baiknya kita mengetahui bagaimana sebenarnya
permasalahan ini diselesaikan dengan Hukum Waris menurut Undang-Undang (Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata).
Berhak Mendapatkan
Warisan
Ada dua jalur untuk mendapatkan warisan secara adil, yaitu melalui pewarisan
absentantio dan pewarisan testamentair. Pewarisan absentantio merupakan warisan
yang didapatkan didapatkan berdasarkan Undang-undang. Dalam hal ini sanak
keluarga pewaris (almarhum yang meninggalkan warisan) adalah pihak yang berhak
menerima warisan.
Mereka yang berhak
menerima dibagi menjadi empat golongan, yaitu anak, istri atau suami, adik atau
kakak, dan kakek atau nenek. Pada dasarnya, keempatnya adalah saudara terdekat
dari pewaris (Lihat Boks 4 golongan pembagian waris).
Sedangkan pewarisan
secara testamentair/wasiat merupakan penunjukan ahli waris berdasarkan surat
wasiat. Dalam jalur ini, pemberi waris akan membuat surat yang berisi
pernyataan tentang apa yang akan dikehendakinya setelah pemberi waris meninggal
nanti. Ini semua termasuk persentase berapa harta yang akan diterima oleh
setiap ahli waris.
Tidak Berhak
Menerimanya
Meskipun seseorang sebenarnya berhak mendapatkan warisan baik secara
absentantio atau testamentair tetapi di dalam KUH Perdata telah ditentukan
beberapa hal yang menyebabkan seorang ahli waris dianggap tidak patut menerima
warisan.
Kategori pertama
adalah orang yang dengan putusan hakim telah telah dinyatakan bersalah dan
dihukum karena membunuh atau telah mencoba membunuh pewaris. Kedua adalah orang
yang menggelapkan, memusnahkan, dan memalsukan surat wasiat atau dengan memakai
kekerasan telah menghalang-halangi pewaris untuk membuat surat wasiat menurut
kehendaknya sendiri. Ketiga adalah orang yang karena putusan hakim telah
terbukti memfitnah orang yang meninggal dunia dan berbuat kejahatan sehingga
diancam dengan hukuman lima tahun atau lebih. Dan keempat, orang yang telah
menggelapkan, merusak, atau memalsukan surat wasiat dari pewaris.
Dengan dianggap tidak
patut oleh Undang-Undang bila warisan sudah diterimanya maka ahli waris terkait
wajib mengembalikan seluruh hasil dan pendapatan yang telah dinikmatinya sejak
ia menerima warisan.
Pengurusan Harta
Warisan
Masalah warisan biasanya mulai timbul pada saat pembagian dan pengurusan harta
warisan. Sebagai contoh, ada ahli waris yang tidak berbesar hati untuk menerima
bagian yang seharusnya diterima atau dengan kata lain ingin mendapatkan bagian
yang lebih. Guna menghindari hal tersebut, ada beberapa tahapan yang perlu
dilakukan oleh Anda yang kebetulan akan mengurus harta warisan, khususnya untuk
harta warisan berupa benda tidak bergerak (tanah dan bangunan).
Langkah pertama yang
harus dilakukan adalah membuat Surat Keterangan Kematian di Kelurahan/Kecamatan
setempat. Setelah itu membuat Surat Keterangan Waris di Pengadilan Negeri
setempat atau Fatwa Waris di Pengadilan Agama setempat, atau berdasarkan
Peraturan Daerah masing-masing. Dalam surat/fatwa tersebut akan dinyatakan
secara sah dan resmi siapa-siapa saja yang berhak mendapatkan warisan dari
pewaris.
Apabila di antara para
ahli waris disepakati bersama adanya pembagian warisan, maka kesepakatan
tersebut wajib dibuat dihadapan Notaris. Jika salah satu pembagian yang
disepakati adalah pembagian tanah maka Anda harus melakukan pendaftaran di
Kantor Pertanahan setempat dengan melampirkan Surat Kematian, Surat Keterangan
Waris atau Fatwa Waris, dan surat Wasiat atau Akta Pembagian Waris bila ada.
Satu bidang tanah bisa
diwariskan kepada lebih dari satu pewaris. Bila demikian maka pendaftaran dapat
dilakukan atas nama seluruh ahli waris (lebih dari satu nama). Nah, dengan
pembagian waris yang dilakukan berdasarkan Undang-Undang maka diharapkan bisa
meminimalkan adanya gugatan dari salah satu ahli waris yang merasa tidak adil
dalam pembagiannya.
Empat Golongan yang
Berhak Menerima Warisan
A. GOLONGAN I.
Dalam golongan ini, suami atau istri dan atau anak keturunan pewaris yang
berhak menerima warisan. Dalam bagan di atas yang mendapatkan warisan adalah
istri/suami dan ketiga anaknya. Masing-masing mendapat ¼ bagian.
Ayah
Ibu
Pewaris
Saudara
Saudara
B. GOLONGAN II
Golongan ini adalah mereka yang mendapatkan warisan bila pewaris belum
mempunyai suami atau istri, dan anak. Dengan demikian yang berhak adalah kedua
orangtua, saudara, dan atau keturunan saudara pewaris.
Dalam contoh bagan di
atas yang mendapat warisan adalah ayah, ibu, dan kedua saudara kandung pewaris.
Masing-masing mendapat ¼ bagian. Pada prinsipnya bagian orangtua tidak boleh
kurang dari ¼ bagian
C. GOLONGAN III
kakek
nenek
kakek
nenek
Dalam golongan ini
pewaris tidak mempunyai saudara kandung sehingga yang mendapatkan waris adalah
keluarga dalam garis lurus ke atas, baik dari garis ibu maupun ayah.
Contoh bagan di atas
yang mendapat warisan adalah kakek atau nenek baik dari ayah dan ibu.
Pembagiannya dipecah menjadi ½ bagian untuk garis ayah dan ½ bagian untuk garis
ibu.
D. GOLONGAN IV
Pada golongan ini yang berhak menerima warisan adalah keluarga sedarah dalam
garis atas yang masih hidup. Mereka ini mendapat ½ bagian. Sedangkan ahli waris
dalam garis yang lain dan derajatnya paling dekat dengan pewaris mendapatkan ½
bagian sisanya.
HUKUM PERJANJIAN
Dalam Buku III BW
istilah yang dipergunakan adalah “Perikatan”. Istilah “Perikatan” mempunyai
arti yang lebih luas dari istilah “Perjanjian”. Dalam “Perikatan” diatur juga
hubungan hukum yang sama sekali tidak bersumber pada suatu persetujuan atau
perjanjian, yaitu perihal perikatan yang timbul dari perbuatan melanggar hukum
(onrechtmatige daad) dan perihal perikatan yang timbul dari pengurusan kepentingan
orang lain yang tidak berdasarkan persetujuan (zaakwaarneming).
Apabila kita coba
membuat perbedaan sederhana antara perikatan dengan perjanjian, maka perikatan
merupakan suatu pengertian abstrak, sedangkan perjanjian adalah suatu peristiwa
hukum yang konkrit.
Definisi perikatan
menurut BW ialah suatu hubungan hukum (mengenai kekayaan harta benda) antara
dua orang, yang memberi hak pada yang satu untuk menuntut barang sesuatu dari
yang lainnya, sedangkan orang yang lainnya diwajibkan memenuhi tuntutan itu.
Pihak yang berhak menuntut dinamakan pihak berpiutang atau “kreditur”,
sedangkan pihak yang wajib memenuhi tuntutan dinamakan pihak berhutang atau
“debitur”. Adapun barang sesuatu yang dapat dituntut dinamakan “prestasi”.
Prestasi menurut UU dapat berupa :
1. Menyerahkan suatu
barang;
2. Melakukan suatu
perbuatan;
3. Tidak melakukan
suatu perbuatan.
Sumber-sumber perikatan :
1. Persetujuan
(perjanjian)
2. UU, dimana terbagi
lagi kepada :
1.2. UU saja, yaitu
perikatan yang timbul oleh hubungan kekeluargaan.
2.2. UU karena suatu
perbuatan orang, yang terbagi lagi :
2.2.1. Perbuatan yang
diperbolehkan
2.2.2. Perbuatan yang
berlawanan hukum.
Dalam BW terdapat
suatu macam perikatan yang dinamakan “naturlijke vebintenis”, yaitu suatu perikatan yang berada di
tengah-tengah antara perikatan moral atau kepatutan dan suatu perikatan hukum,
atau boleh dikatakan sebagai suatu perikatan hukum yang tidak sempurna. Contoh
perikatan ini antara lain ialah : hutang-hutang yang terjadi karena perjudian,
oleh pasal 1788 BW tidak dizinkan untuk menuntut pembayaran.
Buku III BW menganut
asas “kebebasan”, sebagaimana tersimpul dalam pasal 1338 BW yang menerangkan
bahwa segala perjanjian yang dibuat secara sah, berlaku sebagai UU bagi mereka
yang membuatnya.
Macam-macam perikatan:
1. Perikatan
bersyarat, yaitu perikatan yang digantungkan pada suatu kejadian dikemudian
hari yang masih belum tentu akan atau tidak terjadi.
2. Perikatan yang
digantungkan pada suatu ketetapan waktu.
3. Perikatan yang
membolehkan memilih.
4. Perikatan tanggung
menanggung.
5. Perikatan yang
dapat dibagi dan yang tidak dapat dibagi.
6. Perikatan dengan
penetapan hukuman.
Hapusnya perikatan :
1. Pembayaran;
2.Penawaran pembayaran
tunai diikuti oleh penyimpanan barang yang hendak dibayarkan itu di suatu
tempat.
3. Pembaharuan hutang;
4. Kempensasi atau
perhitungan hutang timbal balik;
5. Percampuran hutang;
6. Pembebasan hutang;
7. Hapusnya barang
yang dimaksud dalam perjanjian;
8. Pembatalan
perjanjian;
9. Akibat berlakunya
suatu syarat pembatalan;
10. Lewat waktu.
Beberapa perjanjian khusus yang penting
1.
Perjanjian jual beli,
yaitu suatu perjanjian dimana pihak yang satu menyanggupi akan menyerahkan hak
milik atas suatu barang, sedangkan pihak lainnya menyanggupi akan membayar
sejumlah uang sebagai harganya.
2.
Perjanjian
sewa-menyewa, yaitu suatu perjanjian diaman pihak yang satu menyanggupi akan
menyerahkan suatu benda untuk dipakai selama suatu jangka waktu tertentu,
sedangkan pihak lainnya menyanggupi akan membayar harga yang telah ditetapkan
untuk pemakaian itu pada waktu-waktu yang ditentukan. Pihak penyewa memikul dua
kewajiban poko, yaitu 1) membayar uang sewa pada
waktunya, (2) memelihara barang yang disewa sebaik-baiknya, seolah-olah barang
miliknya sendiri.
3.
Pemberian atau hibah (schenking), yaitu suatu perjanjian dimana pihak yang
satu menyanggupi dengan cuma-cuma dengan secara mutlak memberikan suatu benda
pada pihak yang lainnya yang menerima pemberian itu.
4.
Persekutuan (maatschap), yaitu suatu perjanjian dimana beberapa
orang bermufakat untuk bekerja bersama dalam lapangan ekonomi, dengan tujuan
membagi keuntungan yang akan diperoleh. Persekutuan merupakan suatu bentuk
kerjasama yang paling sederhana, bahkan diperbolehkan seorang anggota hanya
menyumbangkan tenaga saja.Untuk perjanjian model ini tidak diperlukan adanya
suatu akte. Perjanjian ini dikenla juga dengan sebutan “perjanjian consensueel” yaitu perjanjian yang dianggap sudah cukup
jika ada kata sepakat.
5.
Penyuruhan (lastgeving), yaitu suatu perjanjian dimana pihak yang
satu memberikan perintah kepada pihak yang lain untuk melakukan suatu perbuatan
hukum.
6.
Perjanjian pinjam,
meliputi 2 aspek, yaitu : (1) perjanjian pinjam barang yang tidak dapat
diganti, seperti peminjaman mobil, motor dan lain-lain, (2) perjanjian pinjaman
barang yang dapat diganti, seperti meminjam uang, beras dan lain-lain.
7.
Penangguhan hutang,
yaitu suatu perjanjian dimana satu pihak menyanggupi pada pihak lainnya, bahwa
ia menanggung pembayaran suatu hutang, apabila si berhutang tidak menepati
kewajibannya.
8.
Perjanjian perdamaian,
yaitu suatu perjanjian dimana dua pihak membuat suatu perdamaian untuk
mengakhiri suatu perkara, dalam perjanjian mana masing-masing melepaskan
sementara hak-hak atau tuntutannya. Perjanjian semacam ini harus tertulis.
9.
Perjanjian kerja,
terbagi 3 macam, yaitu 1) perjanjian perburuhan
yang sejati, adalah suatu perjanjian yang menerbitkan suatu hubungan terbatas
antara buruh dan majikan, diperjanjikan suatu upah, dan dibuat untuk waktu
tertentu,(2) pemborongan pekerjaan, ialah suatu perjanjian dimana satu pihak
menyanggupi untuk keperluan pihak lainnya, melakukan suatu pekerjaan tertentu
dengan pembayaran upah yang ditentukan pula, (3) perjanjian untuk melakukan
suatu pekerjaan terlepas, seperti seorang kuli mengangkut barang atau seorang
dokter gigi yang mencabut gigi pasiennya..
Kapita Selekta Hukum Perdata
Tanya Jawab
Pertanyaan :
Ada dua orang
mahasiswa berumur 17 dan 19 tahun akan mengadakan perjanjian pinjaman untuk
memenuhi biaya kuliah. Saya ingin mengetahui pada usia berapa seseorang dapat
menandatangani kontrak pinjaman tersebut, atas tanggung jawabnya sendiri, tanpa
persetujuan dari orang tua/wali mereka sesuai dengan peraturan yang berlaku di
Indonesia.
Jawaban :
Pasal 1320 Kitab
Undang-undang Hukum Perdata (KUHPer) mencantumkan empat syarat untuk sahnya
suatu perjanjian, salah satunya adalah kecakapan para pihak. Syarat ini
bersifat subyektif; jika tidak dipenuhi maka perjanjian tersebut dapat
dimintakan pembatalannya.
Ketidakcakapan terjadi
bila seseorang berdasarkan ketentuan undang-undang tidak mampu untuk membuat
sendiri perjanjian. Yang termasuk tidak cakap oleh KUHPer adalah orang-orang
yang belum cukup umur, orang-orang yang ditempatkan dibawah pengampuan dan
wanita bersuami (namun sejak 1963 yang terakhir ini tidak lagi berlaku
berdasarkan putusan Mahkamah Agung). Perlu diperhatikan pula bahwa seseorang
yang cakap secara hukum dapat kehilangan seluruh atau sebagian kecakapan itu
secara perdata, misalnya jika dinyatakan pailit oleh pengadilan.
Menurut pasal 330
KUHPer yang belum cukup umur (dewasa) adalah mereka yang belum mencapai umur
genap 21 (dua puluh satu) tahun dan belum kawin sebelumnya. Jika belum berumur
21 namun telah menikah, maka dianggap telah dewasa secara perdata dan dapat
mengadakan perjanjian.
Pertanyaan :
bagaimanakah dapat membedakan antara perbuatan melanggar hukum(onrectmatiedaad)
dan wanprestasi dalam sebuah perjanjian ?
Jawaban :
Prestasi adalah
sesuatu yang dapat dituntut. Jadi dalam suatu perjanjian suatu pihak (biasanya
kreditur/ berpiutang) menuntut prestasi pada pihak lainnya (biasanya debitur/
berutang). Menurut ps. 1234 KUHPer prestasi terbagi dalam 3 macam:
1. Prestasi untuk
menyerahkan sesuatu (prestasi ini terdapat dalam ps. 1237 KUHPer);
2. Prestasi untuk
melakukan sesuatu atau berbuat sesuatu (prestasi jenis ini terdapat dalam ps.
1239 KUHPer); dan
3. Prestasi untuk
tidak melakukan atau tidak berbuat seuatu (prestasi jenis ini terdapat dalam
ps. 1239 KUHPer).
Apabila seseorang
telah ditetapkan prestasi sesuai dengan perjanjian itu, maka kewajiban pihak
tersebut untuk melaksanakan atau mentaatinya.
Apabila sorang yang
telah ditetapkan prestasi sesuai dengan perjanjian tersebut tidak melaksanakan
atau tidak memenuhi prestasi sesuai dengan ketentuan yang berlaku, maka disbut
orang tersebut melakukan wanprestasi.
Apabila pihak debitur
yang melakukan wanprestasi maka pihak kreditur yang menuntut atau mengajukan
gugatan. Ada tiga kemungkinan bentuk gugatan yang mungkin diajukan oleh pihak
yang merasa dirugikan akibat dari wanprestasi, yaitu:
a. Secara parate executie;
Dimana kreditur
melakukan tuntutan sendiri secara langsung kepada debitur tanpa melalui
pengadilan. Dalam hal ini pihak yang bersangkutan bertindak secara eigenrichting (menjadi hakim sendiri secara bersama-sama).
Pada prakteknya, parate executie berlaku pada perikatan yang ringan dan nilai
ekonomisnya kecil.
b. Secara arbitrage (arbitrase) atau perwasitan;
Karena kreditur
merasakan dirugikan akibat wanprestasi pihak debitur, maka antara kreditur dan
debitur bersepakat untuk menyelesaikan persengketaan masalah mereka itu kepada
wasit (arbitrator). Apabila arbitrator telah memutuskan sengketa itu, maka
pihak kreditur atau debitur harus mentaati setiap putusan, walaupun putusan itu
menguntungkan atau emrugikan salah satu pihak.
c. Secara rieele executie
Yaitu cara
penyelesaian sengketa antara kreditur dan debitur melalui hakim di pengadilan.
Biasanya dalam sengketa masalah besar dan nilai ekonomisnya tinggi atau antara
pihak kreditur dan debitur tidak ada konsensus penyelesaian sengketa dengan
cara parate executie, maka penyelesaian perkara ditempuh dengan rileele executie di depan hakim di pengadilan.
Perbuatan melawan
hukum (onrechtmatige daad) diatur dalam ps. 1365 sampai dengan ps.1380 KUHPer. Tiap
perbuatan melanggar hukum yang menimbulkan kerugian pada orang lain, mewajibkan
pembuat yang bersalah untuk mengganti kerugian (ps. 1365 KUHPer).
Dinamakan perbuatan
melawan hukum apabila perbuatan itu bertentangan dengan hukum pada umumnya.
Hukum bukan saja berupa ketentuan-ketentuan undang-undang, tetapi juga
aturan-aturan hukum tidak tertulis, yang harus ditaati dalam hidup
bermasyarakat. Kerugian yang ditimbulkan itu harus disebabkan karena perbuatan
yang melawan hukum itu; antara lain kerugian-kerugian dan perbuatan itu harus
ada hubungannya yang langsung; kerugian itu disebabkan karena kesalahan
pembuat. Kesalahan adalah apabila pada pelaku ada kesengajaan atau kealpaan
(kelalaian).
Perbuatan melawan
hukum tidak hanya terdiri atas satu perbuatan, tetapi juga dalam tidak berbuat
sesuatu. Dalam KHUPer ditentukan pula bahwa setiap orang tidak saja
bertanggungjawab terhadap kerugian yang disebabkan karena perbuatannya sendiri,
tetapi juga terhadap kerugian yang ditimbulkan karena perbuatan orang-orang
yang ditanggungnya, atau karena barang-barang yang berada dibawah
pengawasannya.
Ditentukan antara
lain, bahwa orang tua bertanggung jawab terhadap kerugian yang ditimbulkan
karena perbuatan-perbuatan anak-anaknya yang belum cukup umur yang diam bersama
mereka. Seorang majikan bertanggung jawab terhadap kerugian yang ditimbulkan
oleh orang bawahannya dalam melaksanakan pekerjaan-pekerjaan yang ditugaskan
kepada mereka. Guru sekolah bertanggung jawab terhadap kerugian yang
ditimbulkan karena perbuatan-perbuatan murid selama dalam pengawasannya.
Kerugian yang ditimbulkan dapat berupa kerugian harta benda, tetapi dapat pula
berupa berkurangnya kesehatan atau tenaga kerja.
Pertanyaan :
Pasal 82 dan 89 UU No.
1/95, demikian pula dalam anggaran dasar, suatu PT menyatakan bahwa direksi mewakili
PT baik di dalam maupun di luar pengadilan serta dapat memberi kuasa tertulis
kepada karyawan dan orang lain untuk melakukan perbuatan hukum tertentu atas
nama PT. Permasalahannya adalah bagi PT yang sudah cukup besar kegiatannya,
maka :1. Apabila ada suatu perjanjian yang akan ditandatangani oleh orang yang
bukan direksi, apakah orang harus mendapatkan kuasa tertulis lebih dulu dari
direksi? 2. Apakah tidak ada jalan lain selain pemberian kuasa sebagaimana
tersebut di atas, misal direksi membuat surat keputusan yang berisi bahwa untuk
suatu nilai tertentu penandatanganan perjanjian cukup oleh setingkat kabag atau
manajer? Atau 3. Bisakah dengan cara membuat surat kuasa yang berlaku umum bagi
pegawainya yang setingkat kabag atau manajer tersebut ?
Jawaban :
Menurut pasal 82 dan
89 UU No. 1 tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas, seharusnya memang seseorang
harus mendapat kuasa tertulis lebih dulu dari direksi apabila ia ingin
menandatangani suatu perjanjian atas nama PT. Namun dalam hal tertentu yang mendesak
dan belum ada kuasa tertulis dari direksi, maka harus diyakini terlebih dahulu
bahwa perjanjian yang akan ditandatangani tersebut nantinya akan mendapat
pengakuan dari direksi PT yang bersangkutan. Karena apabila direksi PT sebagai
pihak yang berwenang untuk bertindak atas nama PT tidak mengakui perjanjian
yang ditandatangani oleh karyawan tersebut maka secara otomatis perjanjian
tersebut tidak akan mengikat PT yang bersangkutan dan menjadi dapat dibatalkan
dengan alasan perjanjian tersebut tidak sah karena tidak pernah ada kata
sepakat yang diberikan oleh orang yang dapat bertindak atas nama PT (ps. 1807
ayat 2 jo 1320 KUHPer).
Sementara bagi
kepentingan pihak ketiga sendiri, guna mencegah batalnya perjanjian karena
ternyata pihak yang mewakili mitra usahanya tidak berwenang untuk
menandatangani perjanjian atas nama PT mitranya maka sebaiknya pihak ketiga
tersebut meminta surat kuasa tertulis atau kepastian kepada mitra usahaya yang
menjelaskan bahwa yang bersangkutan memang berwenang untuk menandatangani
perjanjian atas nama PT. (ps. 1320 KUHPer)
Cara lain dalam
pemberian kuasa selain dengan cara diatas, adalah dapat dilakukan dengan
membuat semacam surat keputusan sebagai suatu peraturan internal perusahaan.
Surat keputusan ini nantinya menjelaskan deskripsi pekerjaan dan memberikan
batasan wewenang yang dimilikinya oleh level manajerial tertentu dalam
melaksanakan pekerjaannya, misalnya seperti kewenangan-kewenangan untuk
menandatangani perjanjian tertentu yang sesuai dengan lingkup pekerjaannya.
Bisa saja dibuat surat
kuasa yang berlaku umum bagi pegawainya yang setingkat kabag atau manajer, tapi
hal ini sulit untuk dilakukan karena masing-masing jabatan memiliki lingkup
kerja sendiri dan secara otomatis maka kewenangan yang diberikan pun akan berbeda.
Pertanyaan :
sahkah surat
perjanjian yang tanpa dibubuhi materai yang cukup serta sejauh mana kekuatannya
jika terjadi sengketa di pengadilan
Jawaban :
Surat sebagai alat
pembuktian tertulis dapat dibedakan dalam Akta dan Surat bukan akta, dan Akta
dapat dibedakan dalam Akta Otentik dan Akta Di bawah tangan. Sesuatu surat
untuk dapat dikatakan sebagai akta harus ditandatangai, harus dibuat dengan
sengaja dan harus untuk dipergunakan oleh orang untuk keperluan siapa surat itu
dibuat. Di dalam KHUPerdata ketentuan mengenai akta diatur dalam Pasal 1867
sampai pasal 1880.
Perbedaan pokok antara
akta otentik dengan akta di bawah tangan adalah cara pembuatan atau terjadinya
akta tersebut. Apabila akta otentik cara pembuatan atau terjadinya akta
tersebut dilakukan oleh dan atau dihadapan pejabat pegawai umum (seperti
Notaris, Hakim, Panitera, Juru Sita, Pegawai Pencatat Sipil), maka untuk akta
di bawah tangan cara pembuatan atau terjadinya tidak dilakukan oleh dan atau
dihadapan pejabat pegawai umum, tetapi cukup oleh pihak yang berkepentingan
saja. Contoh dari akta otentik adalah akta notaris, vonis, surat berita acara
sidang, proses perbal penyitaan, surat perkawinan, kelahiran, kematian, dsb,
sedangkan akta di bawah tangan contohnya adalah surat perjanjian sewa menyewa
rumah, surat perjanjian jual beli dsb.
Salah satu fungsi akta
yang penting adalah sebagai alat pembuktian. Akta otentik merupakan alat
pembuktian yang sempurna bagi kedua belah pihak dan ahli warisnya serta
sekalian orang yang mendapat hak darinya tentang apa yang dimuat dalam akta
tersebut. Akta Otentik merupakan bukti yang mengikat yang berarti kebenaran
dari hal-hal yang tertulis dalam akta tersebut harus diakui oleh hakim, yatiu
akta tersebut dianggap sebagai benar selama kebenarannya itu tidak ada pihak
lain yang dapat membuktikan sebaliknya. Menurut Pasal 1857 KHUPerdata, jika
akta dibawah tangan tanda tangannya diakui oleh orang terhadap siapa tulisan
itu hendak dipakai, maka akta tersebut dapat merupakan alat pembuktian yang
sempurna terhadap orang yang menandatangani serta para ahli warisnya dan
orang-orang yang mendapatkan hak darinya.
Dalam Undang-undang
No.13 tahun 1985 tentang Bea Meterei disebutkan bahwa terhadap surat perjanjian
dan surat-surat lainnya yang dibuat dengan tujuan untuk digunakan sebagai alat
pembuktian mengenai perbuatan, kenyataan atau keadaan yang bersifat perdata
maka dikenakan atas dokumen tersebut bea meterei.
Dengan tiadanya
materai dalam suatu surat perjanjian (misalnya perjanjian jual beli) tidak
berarti perbuatan hukumnya (perjanjian jual beli) tidak sah, melainkan hanya
tidak memenuhi persyaratan sebagai alat pembuktian. Sedangkan perbuatan
hukumnya sendiri tetap sah karena sah atau tidaknya suatu perjanjian itu bukan
ada tidaknya materai, tetapi ditentukan oleh Pasal 1320 KUHPerdata.
Bila suatu surat yang
dari semula tidak diberi meterei dan akan dipergunakan sebagai alat bukti di
pengadilan maka permeteraian dapat dilakukan belakangan.
Pertanyaan :
Bagaimana kekuatan dan
dasar hukum dari sebuah perjanjian sepihak? Dalam hal ini perjanjian sepihak
adalah perjanjian yang berkaitan dengan dua buah pihak. Namun yang
bertandatangan hanyalah satu pihak didampingi oleh saksi-saksi dan materai.
Jawaban :
Perjanjian hakikatnya
adalah perbuatan satu atau lebih pihak untuk mengikatkan diri pada satu atau
lebih pihak lain (Psl. 1313 KUPerdata). Karenanya istilah “perjanjian sepihak”
bertentangan dengan hakikat perjanjian itu sendiri (lih. Psl 1315 KUHPerdata).
Namun, KUHPerdata
memuat pengecualian. Satu pihak bisa saja mengikatkan diri untuk
menanggung/menjamin (kepada pihak kedua) bahwa seorang pihak ketiga akan
berbuat sesuatu (lih. Psl. 1316 KUHPerdata). Pakar hukum melihat pengecualian
ini bersifat limitatif dan hanya dapat digunakan untuk keperluan
penanggungan/pejaminan saja. Karenanya ‘perjanjian sepihak’ tidak memiliki
kekuatan hukum maupun dasar hukum.
Salah satu syarat
sahnya perjanjian adalah kesepakatan antar pihak (lih. Psl 1320 KUHPerdata).
Tentunya tanpa adanya kesepakatan, perjanjian menjadi tidak sah. Namun, perjanjian
tidak harus dituangkan secara tertulis; lisan punya dapat dan sah serta
mengikat. Namun, pembuktian perjanjian lisan lebih sulit dibandingkan tertulis.
Karenanya, walaupun perjanjian tertulis yang anda masuk tidak sah, namun
sebetulnya ada kesepakatan lisan, maka tetap dapat dianggap telah terjadi
perjanjian di antara para pihak.
Pertanyaan :
Seperti diketahui,
e-commerce itu mencakup B2C dan B2B dan dapat dilakukan melalui IRC, e-mail dan
web. Dimensi e-commerce juga mencakup transaksi antar pihak domestik (nasional)
maupun antar pihak domestik dan non domestik (internasional). Dalam perjanjian
apa pun kita harus memperhatikan BW sebagai pedoman dalam pembentukan
perjanjian. Lalu, apakah transaksi e-commerce B2C melalui website telah
memenuhi syarat sahnya perjanjian dalam Pasal 1320 BW? Kapankah saat lahir
perjanjian dalam transaksi tersebut? Siapa sajakah pihak yang teribat dalam
e-commerce selain penjual dan pembeli?
Jawaban :
Setuju dengan pendapat
anda, bahwa suatu transaksi harus memenuhi syarat sahnya suatu perjanjian.
Karena prinsip yang dianut oleh Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH Perdata)
bisa dibilang prinsip universal dari transaksi.
Pemahaman yang
berkembang selama ini, syarat perjanjian yang tertera dalam ps. 1320 KUH
Perdata hanya bisa berlaku untuk transaksi konvensional. Padahal tidak demikian
halnya, perkembangan teknologi adalah satu dari sebuah realitas teknologi.
Realitas teknologi hanya berperan untuk membuat hubungan hukum konvensional
bisa berlangsung efektif dan efisien.
Gambarannya adalah
sebagai berikut, dalam transaksi jual beli tetap saja dikenal proses pembayaran
dan penyerahan barang. Apakah dalam e-commerce tidak ada pembayaran dan peneyerahan barang, saya pikir tetap
saja ada. Dari situ disimpulkan bahwa, dengan adanya internet atau e-commerce hanyalah membuat jual beli atau hubungan
hukum yang terjadi menjadi lebih singkat, mudah, dan sederhana. Secara hukum,
tidak ada perubahan konsepsi dalam suatu transaksi yang berlangsung.
Kemudian, kapan suatu
perjanjian dalam transaksi e-commerce
tersebut berlangsung tentunya sangat berkaitan erat dengan siapa saja suatu
transaksi tersebut dilakukan. Dalam transaksi biasa, perjanjian berakhir ketika
masing-masing pihak melakukan kewajibannya masing-masing.
Sebenarnya tidak berbeda
dengan transaksi yang berlangsung secara on line. Namun memang tidak sesederhana jika dibandingkan dengan
transaksi konvensional. Dalam transaksi on line, tanggung jawab (kewajiban) atau perjanjian tadi dibagi kepada
beberapa pihak yang terlibat dalam jual beli tersebut. Paling tidak ada tiga
pihak yang terlibat dalam transaksi on line baik B2B (business to business) dan B2C (business to cumsomer), antara lain perusahaan penyedia barang (seller), kemudian perusahaan penyediaan jasa
pengriman (packaging),
dan jasa pembayaran (bank).
Biasanya disetiap
bagian pekerjaan (penawaran, pembayaran, pengiriman) masing-masing pihak
membagi tanggung jawab sesuai dengan kompetensi masing-masing. Pada proses
penawaran dan proses persetujuan jenis barang yang dibeli maka transaksi antara
penjual (seller) dengan pembeli (buyer) selesai. Penjual menerima persetujuan jenis
barang yang dipilih dan pembeli menerima konfirmasi bahwa pesanan atau pilihan
barang telah diketahui oleh penjual.
Bisa dikatakan bahwa
transaksi antara penjual dengan pembeli dalam tahapan persetujuan barang telah
selesai sebagian sambil menunggu barang tiba atau diantar ke alamat pembeli.
Karena biasanya Bank baru akan mengabulkan permohonan dari pembeli setelah
penjual menerima konfirmasi dari Bank yang ditunjuk oleh penjual dalam
transaksi e-commerce
tersebut. Setelah penjual menerima konfirmasi bahwa pembeli telah membayar
harga barang yang dipesan, selanjutnya penjual akan melanjutkan atau
mengirimkan konfirmasi kepada perusahaan jasa pengiriman untuk mengirimkan
barang yang dipesan ke alamat pembeli. Setelah semua proses terlewati, dimana
ada proses penawaran, pembayaran, dan penyerahan barang maka perjanjian
tersebut dikatakan selesai seluruhnya atau perjanjian tersebut telah berakhir.
Pihak yang terkait
langsung dalam transaksi paling tidak ada empat pihak yang terlibat, diatas
telah disebutkan antara lain; penjual, pembeli, penyedia jasa pembayaran,
penyedia jasa pengiriman.
Pertanyaan :
Mohon dapat dijelaskan mengenai unsur-unsur perbuatan melawan hukum dan apakah
pembatalan suatu rencana kerja secara sepihak sebelum adanya kontrak kerjasama
dapat dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum?
Jawaban :
Suatu perbuatan
bersifat melawan hukum apabila perbuatan itu bertentangan dengan hukum pada
umumnya. Hukum bukan saja berupa ketentuan-ketentuan undang-undang, tetapi juga
aturan-aturan hukum tidak tertulis, termasuk kebiasaan, yang harus ditaati
dalam hidup bermasyarakat. Kerugian yang ditimbulkan itu harus disebabkan
karena perbuatan yang melawan hukum itu. Dengan kata lain, antara kerugian dan
perbuatan harus ada hubungan sebab akibat yang langsung; kerugian itu
disebabkan karena kesalahan pelakunya. Kesalahan dapat berupa kesengajaan
maupun kealpaan (kelalaian).
Perbuatan melawan
hukum tidak hanya terdiri atas satu perbuatan, tetapi juga dalam tidak berbuat
sesuatu. KUHPer menentukan pula bahwa setiap orang tidak saja bertanggungjawab
terhadap kerugian yang disebabkan karena perbuatannya sendiri, tetapi juga
terhadap kerugian yang ditimbulkan karena perbuatan orang-orang yang
ditanggungnya, atau karena barang-barang yang berada dibawah pengawasannya.
Persoalan “rencana
kerja” dalam dunia usaha bisa kita lihat dari dua sudut pandang, tergantung
pada kebiasaan bisnis/usaha dalam hal mengikat atau tidaknya rencana kerja
(rencana untuk melakukan pekerjaan diwaktu akan datang). Jika pembicaraan
rencana kerja tersebut dianggap telah menghasilkan kesepakatan sehingga
mengikat para pihaknya, maka pemutusan rencana kerja secara sepihak dapat
dianggap telah memenuhi unsur-unsur perbuatan melawan hukum. Namun jika tidak,
maka akan sulit untuk mengatakan unsur-unsur perbuatan melawan hukum telah ada.
Suatu perbuatan
bersifat melawan hukum apabila perbuatan itu bertentangan dengan hukum pada
umumnya. Hukum bukan saja berupa ketentuan-ketentuan undang-undang, tetapi juga
aturan-aturan hukum tidak tertulis, termasuk kebiasaan, yang harus ditaati
dalam hidup bermasyarakat. Kerugian yang ditimbulkan itu harus disebabkan
karena perbuatan yang melawan hukum itu. Dengan kata lain, antara kerugian dan
perbuatan harus ada hubungan sebab akibat yang langsung; kerugian itu
disebabkan karena kesalahan pelakunya. Kesalahan dapat berupa kesengajaan
maupun kealpaan (kelalaian).
Perbuatan melawan
hukum tidak hanya terdiri atas satu perbuatan, tetapi juga dalam tidak berbuat
sesuatu. KUHPer menentukan pula bahwa setiap orang tidak saja bertanggungjawab
terhadap kerugian yang disebabkan karena perbuatannya sendiri, tetapi juga
terhadap kerugian yang ditimbulkan karena perbuatan orang-orang yang
ditanggungnya, atau karena barang-barang yang berada dibawah pengawasannya.
Persoalan “rencana
kerja” dalam dunia usaha bisa kita lihat dari dua sudut pandang, tergantung
pada kebiasaan bisnis/usaha dalam hal mengikat atau tidaknya rencana kerja
(rencana untuk melakukan pekerjaan diwaktu akan datang). Jika pembicaraan
rencana kerja tersebut dianggap telah menghasilkan kesepakatan sehingga
mengikat para pihaknya, maka pemutusan rencana kerja secara sepihak dapat
dianggap telah memenuhi unsur-unsur perbuatan melawan hukum. Namun jika tidak,
maka akan sulit untuk mengatakan unsur-unsur perbuatan melawan hukum telah ada.
Pertanyaan :
saya minta tolong
untuk dijelaskan tentang hapusnya perikatan. kemudian apabila ada seorang
pelukis yang telah dibayar (baik sebagian ataupun seluruhnya) untuk
menyelesaikan suatu lukisan diri tidak dapat menyelesaikan pekerjaannya itu
karena ia meninggal dunia, bagaimana perikatan yang terjadi antara pelukis tadi
dengan orang yang memberinya pekerjaan? apakah perikatan itu hapus atau masih
berlanjut? mengapa? terima kasih.
Jawaban :
Pada asasnya suatu
perjanjian hanya mengikat para pihak sendiri yang, baik sendiri maupun melalui
kuasanya, menutup perjanjian tersebut. Pihak ketiga dapat memperoleh hak-hak
dari perjanjian dimana ia bukan merupakan pihak, asal dipenuhi apa yang
dirumuskan dalam pasal 1317 (KUHPerdata).
Ada beberapa jenis
perjanjian dimana dalam perjanjiannya melekat sedemikian eratnya pada
sifat-sifat dan kecakapan yang bersifat sangat pribadi (melekat pada diri/persoon salah satu pihak) seperti pada perjanjian
kerja (perjanjian perburuhan), maka perjanjian jenis ini berakhir dengan
meninggalnya salah satu pihak.
Hal ini berarti, bahwa
dalam perjanjian semacam itu perikatan-perikatan yang muncul daripadanya
berhenti bekerja, sejak saat matinya salah satu pihak, atau dengan kata lain,
perikatan yang lahir dari perjanjian tersebut, tak berpindah kepada pihak
lainnya atau kepada ahli warisnya. Tetapi hasil yang sudah keluar dari
perjanjian tersebut, memang tetap tidak hapus dan beralih kepada para ahli
waris.
Jadi, sejak kematian
salah satu pihak, perjanjian tersebut tidak menimbulkan perikatan-perikatan
baru lagi dan perikatan yang sudah ada tak mempunyai daya kerja lagi, sedangkan
yang sudah dihasilkan oleh perikatan (hasil yang sudah keluar dari perikatan)
tersebut tetap.
Tetapi ada jenis
perjanjian lainnya yang tidak berakhir dengan kematian salah satu atau kedua
belah pihak, seperti perjanjian sewa menyewa.
Pertanyaan :
Apakah kesalahan
identitas para pihak dalam suatu perjanjian membatalkan suatu perjanjian? Pasal
KUHPerdata mana yang mengaturnya?
Jawaban :
Kesalahan Identitas
para pihak dalam suatu perjanjian tidak mutlak menjadikan Perjanjian Itu Batal,
asalkan memang klausula dalam perjanjian itu tetap disepakati dan sah menurut
hukum. Dalam praktek perjanjian [bisnis], apabila terdapatnya kesalahan
identitas maka perjanjian itu bisa diperbaiki, diubah khususnya terhadap
Identitas para pihak, tentunya dengan suatu anggapan bahwa para pihak tetap sah
dan cakap dalam melakukan tindakan hukum sesuai isi perjanjian.
· Syarat SAH-NYA suatu perjanjian harus
memenuhi ketentuan pasal Pasal 1320 KUHPdt., yang menyatakan bahwa “supaya
terjadi persetujuan yang sah, perlu dipenuhi 4 syarat” yaitu :
Syarat sahnya perjanjian
tersebut terdiri dari:
|
1. Kesepakatan para pihak dalam perjanjian
[agreement]2. Kecakapan para pihak dalam perjanjian [capacity]
|
Syarat
SUBJEKTIF
|
3. Suatu hal
tertentu [certainty of terms]4. Sebab yang halal [considerations]
|
Syarat
OBJEKTIF
|
· Perjanjian dianggap sah dan mengikat secara
penuh bagi para pihak yang membuatnya sejauh tidak bertentangan dengan
prinsip-prinsip hukum yang berlaku, tidak melanggar kesusilaan dan ketertiban
umum. Perjanjian dianggap sah dan mengikat secara penuh bagi para pihak
yang membuatnya sejauh tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum
yang berlaku.
· Mengenai BATALNYA perjanjian yaitu suatu
perjanjian dibuat dengan TIDAK memenuhi syarat Pasal 1320 KUHPdt., bisa
berakibat kepada BATAL-NYA PERJANJIAN
· PEMBATALAN bisa dibedakan ke-dalam 2
terminologi yang memiliki konsekuensi Yuridis, yaitu:
a. Null and Void; Dari awal perjanjian itu telah batal, atau
dianggap tidak pernah ada, apabila syarat objektif tidak dipenuhi. Perjanjian
itu batal demi hukum, dari semula tidak pernah ada dilahirkan suatu perjanjian
dan tidak pernah ada suatu perikatan.
b. Voidable; bila salah satu syarat subyektif tidak
dipenuhi, perjanjiannya bukannya batal demi hukum, tetapi salah satu puhak
dapat memintakan pembatalan itu. Perjanjiannya sendiri tetap mengikat kedua
belah pihak, selama tidak dibatalkan (oleh hakim) atas permintaan pihak yang
berhak meminta pembatalan tadi (pihak yang tidak cakap atau pihak yang
memberikan sepakatnya secara tidak bebas).
Pertanyaan :
Bagaimana kekuatan
hukum suatu MOU (Memorandum Of Understending ) Apakah dapat dilakukan
penuntutan dimuka pengadilan untuk pihak yang melanggar (Mohon dengan dasar
hukumnya) ( terima kasih )
Jawaban :
Memorandum of
Understanding (MoU) atau Nota Kesepakatan merupakan dan termasuk suatu
perjanjian yang dibuat oleh 2 (dua) pihak yang berkepentingan untuk itu. Pasal
1338 KUHPerdata menyatakan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah
berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Oleh karenanya suatu
MoU yang dibuat antara 2 (dua) belah pihak akan mengikat kedua belah pihak
tersebut. Kedua belah pihak tersebut sedemikian rupa harus mematuhi seluruh
ketentuan-ketentuan sebagaimana dinyatakan dalam klausula-klausula yang
terdapat dalam MoU tersebut. Hal ini berarti bahwa apabila salah satu pihak
yang terikat dalam MoU tersebut melakukan pelanggaran atas MoU, maka pihak yang
lainnya dapat melakukan penuntutan di Pengadilan.
Sumber
:Hukumonline.com
DEFINISI HUKUM PERDATA
Definisi Hukum Perdata menurut para ahli :
1. Sri Sudewi Masjchoen Sofwan
? Hukum yang mengatur kepentingan warga negara perseorangan yang satu dengan
perseorangan yang lainnya.
2. Prof. Soediman Kartohadiprodjo, S.H.
? Hukum yang mengatur kepentingan perseorangan yang satu dengan perseorangan
yang lainnya.
3. Sudikno Mertokusumo
? Hukum antar perseorangan yang mengatur hak dan kewajiban perseorangan yang
satu terhadap yag lain didalam lapangan berkeluarga dan dalam pergaulan
masyarakat.
4. Prof. R. Soebekti, S.H.
? Semua hak yang meliputi hukum privat materiil yang mengatur kepentingan
perseorangan.
Definisi secara umum :
? Suatu peraturan hukum yang mengatur orang / badan hukum yang satu dengan
orang / badan hukum yang lain didalam masyarakat yang menitikberatkan kepada
kepentingan perseorangan.
Unsur yang terpenting
dari Hukum Perdata :
1. norma peraturan
2. sanksi
3. mengikat / dapat dipaksakan
AZAS-AZAS HUKUM
PERDATA
o Azas Individualitas
o Azas Kebabasan Berkontrak
Azas Monogami ( dalam
hukum perkawinan )
Azas Individualitas
? Dapat menikmati dengan sepenuhnya dan menguasai sebebas-bebasnya (hak
eigendom) dan dapat melakukan perbuatan hukum, selain itu juga dapat memiliki
hasil, memakai, merusak, memelihara, dsb.
Batasan terhadap azas
individualitas :
a. Hukum Tata Usaha Negara ( campur tangan pemerintah terhadap hak milik )
b. Pembatasan dengan ketentuan hukum bertetangga
c. Tidak menyalahgunakan hak dan mengganggu kepentingan orang lain
Azas Kebebasan
Berkontrak
? Setiap orang berhak mengadakan perjanjian apapun juga, baik yang telah diatur
dalam UU maupun yang belum ( pasal 1338 KUHPerdata ) asal perjanjian tersebut
tidak bertentangan dengan UU, ketertiban umum dan kesusilaan.
Azas Monogami
Seorang laki-laki dalam waktu yang sama hanya diperbolehkan memunyai satu orang
istri. Namun dalam pasal 3 ayat (2) UU No.1 Tahun 1974 tentang Undang-Undang
Pokok Perkawinan (UUPP) membuka peluang untuk berpoligami dengan memenuhi
syarat-syarat pada pasal 3 ayat (2), pasal 4 dan pasal 5 pada UUPP.
PERKEMBANGAN
KUHPerdata DI INDONESIA
? Hukum Perdata Eropa (Code Civil Des Francais) dikodifikasi tanggal 21 Maret
1804.
? Pada tahun 1807, Code Civil Des Francais diundangkan dengan nama Code
Napoleon.
? Tahun 1811 – 1830, Code Napoleon berlaku di Belanda.
? KUHPerdata Indonesia berasal dari Hukum Perdata Belanda, yaitu buku “Burgerlijk
Wetboek” (BW) dan dikodifikasi pada tanggal 1 Mei 1848.
? Setelah kemerdekaan, KUHPerdata tetap diberlakukan di Indonesia. Hal ini
tercantum dalam pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 yang menyebutkan bahwa
segala badan negara dan peraturan yang ada (termasuk KUHPerdata) masih tetap
berlaku selama belum ada peraturan yang baru menurut UUD ini.
? Perubahan yang terjadi pada KUHPerdata Indonesia :
o Tahun 1960 : UU No.5/1960 mencabut buku II KUHPerdata sepanjang mengatur
tentang bumi, air serta kekayaan alam yang terkandung didalamnya kecuali
hypotek
o Tahun 1963 : Mahkamah Agung mengeluarkan Surat Edaran tertanggal 5 September
1963, dengan mencabut pasal-pasal tertentu dari BW yaitu : pasal 108, 824 (2),
1238, 1460, 1579, 1603 x (1),(2) dan 1682.
o Tahun 1974 : UU No.1/1974, mencabut ketentuan pasal 108 tentang kedudukan
wanita yang menyatakan wanita tidak cakap bertindak.
SISTEMATIKA HUKUM
PERDATA
A. Menurut Ilmu Pengetahuan
Buku I : Hukum Perorangan (Personenrecht)
Buku II : Hukum Keluarga (Familierecht)
Buku III : Hukum Harta Kekayaan (Vermogensrecht)
Buku IV : Hukum Waris (Erfrecht)
B. Menurut KUHPerdata
Buku I : Perihal Orang (Van Personen)
Buku II : Perihal Benda (Van Zaken)
Buku III : Perihal Perikatan (Van Verbintennisen)
Buku IV : Perihal Pembuktian dan Kadaluarsa (Van Bewijs en Verjaring)
HUKUM PERORANGAN
Subjek hukum adalah segala sesuatu yang dapat menjadi pendukung hak dan
kewajiban.
Subjek hukum terdiri atas :
1. Manusia / Perorangan ( Natuurlijk Persoon )
2. Badan Hukum ( Rechtpersoon )
Status manusia sebagai subjek hukum merupakan kodrat / bawaan dari lahir,
sedangkan status badan hukum sebagai subjek hukum ada karena pemberian oleh
hukum.
Manusia dan badan
hukum sama-sama manyandang hak dan kewajiban. Hal-hal yang membatasi kewenangan
hukum manusia adalah tempat tinggal, umur, nama dan perbuatan seseorang.
NAMA, KEWARGANEGARAAN
DAN DOMISILI
Kegunaan nama :
- membedakan satu individu dengan individu lainnya
- mengetahui hak dan kewajibannya
- sebagai identifikasi seseorang sebagai subjek hukum
- untuk mengetahui keturunan, asal usul seseorang
- dan hal-hal lain yang berkaitan dengan kekeluargaan dan pembagian harta
warisan
Kewarganegaraan dapat
mempengaruhi kewenangan berhak seseorang, contoh : dalam pasal 21 (1) UUPA ?
hanya WNI yang dapat mempunyai hak milik.
Domisili / tempat
tinggal adalah tempat dimana seseorang melakukan kegiatannya sehari-hari.
Macam-macam domisili :
A. tempat kediaman sesungguhnya, terbagi atas :
- tempat kediaman bebas ? bebas memilih tenpa dipengaruhi pihak manapun.
- tempat kediaman tidak bebas ? terikat oleh pihak lain, mis: rumah dinas.
B. tempat kediaman yang dipilih, terbagi atas :
- dipilih atas dasar ketetapan UU ? dalam hukum acara, waktu melakukan eksekusi
dari vonis.
- Dipilih secara bebas ? misal dalam waktu melakukan pembayaran, dipilih kantor
notaris.
KEWENANGAN BERHAK
? kewenangan untuk mendukung hak dan kewajiban keperdataan.
Kewenangan berhak
manusia ada sejak dia dilahirkan hidup ( jika dilahirkan meninggal, tidak ada
kewenangan berhak ? pasal 2 BW ) sampai ia meninggal tanpa tergantung pada
faktor agama, jenis kelamin, keadaan ekonomi, serta kedudukan dalam masyarakat.
Sedangkan kewenangan berhak badan hukum diawali sejak berdiri dan diakhiri
dengan dibubarkannya badan hukum tersebut.
Yang membatasi
kewenangan berhak manusia :
? Kewarganegaraan
? Tempat tinggal
? Kedudukan / jabatan
? Tingkah laku / perbuatan
? Jenis kelamin, hal tiada ditempat
Kewarganegaraan
Yang membatasi kewenangan berhak WNA di Indonesia:
o Tarif pajak lebih tinggi
o Tidak boleh berpolitik dan berideologi
o Terbatas dalam kegiatan perseroan dan perkumpulan
o Tidak boleh duduk dalam pemerintahan
Tempat tinggal
Contoh: seseorang yang berdomosili di kota Batam tidak dapat menjadi pemilih
pada Pemilu walikota Tanjungpinang.
Kedudukan / jabatan
Contoh : hakim dan pejabat hukum tidak boleh memiliki barang-barang dalam
perkara yang dilelang atas dasar keputusan pengadilan.
Tingkah Laku /
Perbuatan
Contoh : kekuasaan orangtua / wali dapat dicabut oleh pengadilan jika
orangtua/wali tersebut pemabuk, suka aniaya anak, dsb.
Jenis Kelamin dan hal
tiada ditempat
Antara laki-laki dan wanita terdapat perbedaan hak dan kewajiban. Dikatakan hal
tiada ditempat / keadaan tidak hadir apabila tidak ada kabar atau pemberitahuan
untuk waktu yang cukup lama (5 tahun berturut-turut). Bisa disebabkan
meninggal, tidak tahu asal usul, dsb.
KECAKAPAN BERBUAT
Orang yang cakap (wenang melakukan perbuatan hukum ) menurut UU adalah :
1. orang yang dewasa ( diatas 18 tahun) atau pernah melangsungkan perkawinan
2. tidak dibawah pengampuan, yaitu orang dewasa tapi dalam keadaan dungu, gila,
pemboros, dll.
3. tidak dilarang oleh UU, misal orang yang dinyatakan pailit oleh UU dilarang
untuk melakukan perbuatan hukum.
Pendewasaan ?
meniadakan keadaan belum dewasa kepada seseorang agar dapat melakukan perbuatan
hukum.
2 macam pendewasaan :
a. penuh (sempurna), anak dibawah umur memperoleh kedudukan sama dengan orang
dewasa dalam semua hal.
b. terbatas, hanya disamakan dalam hal perbuatan hukum, namun tetap berada
dibawah unmur.
PENGAMPUAN
keadaan dimana
seseorang tidak dapat mengendalikan emosinya, karena sifat-sifat pribadinya
sehingga oleh hukum dianggap tidak cakap untuk bertindak sendiri dalam hukum.
Curandus ? orang yang
dibawah pengampuan
Curator ? orang yang ditunjuk sebagai wakil dari seorang curandus
Curatele ? lembaga pengampuan
Pengampuan terjadi
karena adanya keputusan hakim yang didasarkan pada adanya permohonan, yang
dapat diajukan oleh :
? Keluarga sedarah
? Keluarga semenda dalam garis menyimpang sampai derajat keempat
? Suami terhadap istri dan sebaliknya
? Diri sendiri
? Kejaksaan
Akibat pengampuan :
o Orang tersebut kedudukannya sama dengan anak dibawah umur
o Perbuatan hukum yang dilakukan dapat dibatalkan ( dapat dimintakan
pembatalannya oleh curator)
o Pengampuan berakhir apabila keputusan hakim tersebut dicabut atau karena
meninggalnya curandus
BADAN HUKUM (
RECHTPERSOON)
Dari beberapa pendapat ahli, dapat disimpulkan bahwa badan hukum itu :
• Adalah persekutuan orang-orang
• Dapat melakukan perbuatan hukum
• Mempunyai harta kekayaan sendiri
• Mempunyai pengurus
• Mempunyai hak dan kewajiban
• Dapat menggugat dan digugat di pengadilan
Istilah badan hukum
tidak ada dalam KUHPerdata, namun dalam Buku III KUHPerdata, terdapat istilah
perkumpulan, yang terbentuk oleh adanya suatu perjanjian khusus. Perkumpulan
itu dapat kita artikan dengan badan hukum.
Syarat berdirinya
badan hukum :
A. Syarat Formal, yaitu syarat yang harus dipenuhi sehubungan dengan permohonan
untuk mendapatkan status hukum
B. Syarat Material :
1. yang diminta oleh UU ( pasal 1653 KUHPerdata )
2. menurut doktrin : adanya kekayaan yang terpisah, tujuan, kepentingan
tersendiri dan organisasi yang teratur.
Pembagian badan hukum
Menurut Jenisnya :
a. Badan Hukum Publik (negara, pemda, BI, Perusahaan Negara berdasarkan PP,
dsb)
b. Badan Hukum Perdata (PT, koperasi, parpol, yayasan, badan amal, wakaf, dsb)
Menurut Sifatnya :
a. Korporasi (gabungan orang yang mempunyai kewajiban yang berbeda dengan
anggota lainnya)
b. Yayasan (tiap kekayaan bukan merupakan kekayaan orang/badan dan diberi
tujuan tertentu)
Teori-Teori Badan
Hukum
? Teori Fictie ( F.C. von Savigny; da Houwing; C.W. Opzoomer)
? Badan hukum merupakan orang buatan yang dapat melakukan perbuatan hukum
seperti manusia.
? Teori Harta Kekayaan (A. Brinz; E.J.J. van der Heyden)
? Hanya manusia yang bisa menjadi subjek hukum, namun ada kekayaan yang terikat
dengan tujuan tertentu yang dinamakan badan hukum.
? Teori Milik Bersama (Planiol; Molengraaff)
? Hak dan kewajiban badan hukum adalah hak dan kewajiban para anggota bersama.
Badan hukum hanya suatu konstruksi yuridis saja.
? Teori Kenyataan Yuridis (Mejers)
? Badan hukum merupakan suatu realiteit, konkrit, riil walaupun tidak bisa
diraba. Mejers menekankan agar dalam mempersamakan badan hukum dengan manusis
hanya pada bidang hukum saja.
? Teori Organ (Otto van Gierke; Mr. L.C. Polano)
? Badan hukum bukan abstrak dan bukan kekayaan yang tidak bersubjek, tetapi
merupakan sesuatu yang riil yang dapat membentuk kemauan sendiri dengan
perantaraan alat-alat yang ada (pengurus & anggota) sama seperti manusia
lainnya.
Yang bertindak
mewakili badan hukum adalah para pengurusnya yang penunjukkannya berdasarkan
AD/ART dan tidak dapat bertindak sewenang-wenang.
CATATAN SIPIL
? suatu lembaga yang dibentuk oleh pemerintah untuk mencatat
peristiwa-peristiwa yang menyangkut status keperdataan dan terbuka untuk umum.
Macam-macam akta
catatan sipil :
Akta kelahiran ? mencatat peristiwa kelahiran seseorang.
a. Akta Kelahiran Umum, mencatat berdasarkan waktu pelaporan kelahiran dalam
batas waktu selambat-lambatnya 60 hari kerja (WNI) dan 10 hari kerja (WNA).
b. Akta Kelahiran Istimewa, mencatat kelahiran bagi laporan yang telah
melampaui batas waktu.
c. Akta Kelahiran Dispensasi, mencatat mereka yang lahir sebelum tanggal 31
Desember 1985.
Akta Kematian ? mencatat peristiwa kematian seseorang.
Akta Perkawinan ? mencatat peristiwa perkawinan.
Akta Perceraian ? mencatat peristiwa perceraian.
HUKUM PERKAWINAN
Pengertian perkawinan menurut Undang-Undang Pokok Perkawinan:
? suatu ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai
suami istri dengan tujuan membantuk keluarga ( rumah tangga) yang bahagia,
kekal berdasarkan Ketuhana Yang Maha Esa.
Syarat dapat
melangsungkan perkawinan menurut pasal 6 UUPP:
? Persetujuan kedua belah pihak
? Seseorang yang belum berumur 21 tahun harus mendapat persetujuan dari
orangtua, jika orangtua sudah meninggal dapat meminta persetujuan dari
wali/keluarga yang mempunyai hubungan darah garis lurus keatas.
Azas-azas Perkawinan
1. Tujuan Perkawinan
? membentuk keluarga / rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa.
Membentuk keluarga : membentuk kesatuan masyarakat terkecil yang terdiri dari
suami, istri dan anak.
Membentuk rumah tangga : membentuk kesatuan hubungan suami istri dalam satu
wadah yang disebut rumah kediaman bersama.
2. Sahnya perkawinan
? jika dilakukan menurut agama dan kepercayaan masing-masing, dan dicatat dalam
catatan sipil.
3. Azas Monogami
? seorang suami / istri hanya diperbolehkan memiliki satu orang istri / suami.
Jika dikehendaki dan diizinkan oleh agamanya, maka seseorang suami dapat
beristri lebih dari satu setelah memenuhi persyaratan yang diputuskan
pengadilan.
4. Prinsip Perkawanan
? kedua belah pihak sudah dewasa dan matang jiwa raganya. Perkawinan dilarang
antara mereka yang mempunyai hubungan darah garis lurus keatas dan kebawah.
5. Mempersukar Terjadinya Perceraian
? karena tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal,
maka UU menganut prinsip ini mempersukar terjadinya perceraian.
6. Hak dan Kedudukan Istri
? hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan suami baik dalam kehidupan
rumah maupun masyarakat.
Pencegahan Perkawinan
Pencegahan perkawinan dapat dilakukan apabila ada pihak yang tidak memenuhi
syarat.
Syarat dapat melangsungkan perkawinan :
a. pria berumur 19 tahun dan wanita 16 tahun
b. terkena larangan perkawinan pasal 8 UUPP
c. tidak terikat perkawinan dgn orang lain, apabila terikat, harus mendapat
izin dari istri pertama dan diizinkan pengadilan untuk kawin lagi
d. tidak memenuhi tata cara pelaksanaan perkawinan yang telah diatur sendiri
Pihak yang berhak
mencegah perkawinan :
a. keluarga dalam garis lurus keatas dan kebawah
b. saudara
c. wali
d. wali nikah
e. pengampu dari salah satu calon mempelai
f. pihak-pihak yang berkepentingan
Pembatalan Perkawinan
Pembatalan perkawinan dapat diajukan apabila salah satu pihak masih terikat
perkawinan dengan orang lain dan apabila perkawinan tersebut dilangsungkan di
bawah ancaman yang melanggar hukum.
Pihak yang dapat membatalkan perkawinan :
a. keluarga dalam garis lurus keatas masing-masing pihak
b. suami atau istri
c. pejabat yang berwenang selama perkawinan belum diputuskan
Akibat Perkawinan
Terhadap suami dan istri, harus:
o Memikul kewajiban hukum, setia, hak dan kedudukan seimbang
o Tinggal bersama
o Suami melindungi keluarga
o Hubungan mengikat / timbal balik
Terhadap harta
perkawinan:
o Harta bawaan tetap dibawah penguasaan masing-masing.
o Harta perkawinan adalah benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta
bersama, dengan kata lain jika terjadi perceraian, harta perkawinan harus
dibagi dua sepanjang tidak ditentukan lain
Terhadap keturunan /
kedudukan anak:
o Kekuasaan orangtua mulai sejak kelahiran anak dan berakhir ketika anak dewasa/menikah/dicabut
oleh pengadilan.
o Orangtua wajib memelihara dan mendidik anak sekalipun kehilangan kekuasaan
sebagai orangtua/wali.
o Anak menjadi ahli waris yang sah.
Putusnya Perkawinan
Putusnya perkawinan dapat disebabkan oleh :
1. Kematian
2. Perceraian
3. Atas keputusan pengadilan
Alasan mengajukan
perceraian :
a. setelah adanya perpisahan meja dan ranjang serta pernyataan bubarnya
perkawinan
b. alasan lain seperti berbuat zina, meninggalkan pihak lain tanpa alasan,
melakukan KDRT, cacat badan / penyakit, tidak bisa menjalankan kewajiban,
selalu terjadi pertengkaran dan perselisihan.
Tata cara perceraian
diatur dalam pasal 14-18 PP no 9/1975. Perceraian atas keputusan pengadilan
terjadi karena adanya gugatan perceraian istri terhadap suami (cerai gugat)
Perceraian diajukan
suami ? cerai talaq
Perceraian diajukan istri ? cerai gugat
Proses perceraian
1. Pemanggilan
• dilakukan oleh jurusita PN atau petugas PA
• dipanggil 3 hari sebelum sidang
• Jika tidak jelas maka pemanggilan dilakukan dengan cara pengumuman baik
melalui pengadilan, media massa maupun perwakilan RI di Luar Negeri.
2. Persidangan
• 30 hari setelah gugatan diterima
• Dapat hadir sendiri / didampingi kuasa haknya
• Pemeriksaan dengan sidang tertutup
• Gugatan dapat diterima tanpa kehadiran tergugat
3. Perdamaian
• Dilakukan sebelum dan selama gugatan perceraian belum diputuskan hakim
• Perdamaian dapat dilakukan oleh pengadilan dengan/tanpa abntuan pihak lain
seperti mediator
• Jika terjadi perdamaian maka gugatan baru tidak dapat diajukan lagi dengan
alasan yang sama
4. Putusan
• Disampaikan dalam sidang terbuka
• Perceraian beserta akibatnya berlaku sejak dilakukan pencatatan oleh petugas
pencatat ( kecuali bagi Islam) terhitung sejak jatuhnya putusan pengadilan yang
mempunyai kekuatan hukum tetap
Akibat Putusnya
Perkawinan
Terhadap anak dan istri:
o Bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan anak atau
sesuai dengan keputusan pengadilan
o Mantan suami berkewajiban memberi biaya penghidupan kepada mantan istri
o Hakim dapat menunjuk pihak ketiga bagi anak
Terhadap harta
perkawinan:
o Harta bawaan tetap dibawah penguasaan masing-masing
o Harta bersama diatur menurut hukum masing-masing, yaitu dibagi dua untuk
suami dan istri
Terhadap status
keperdataan dan kebebasan
o Keduanya tidak terikat lagi
o Bebas melakukan perkawinan dengan pihak lain sepanjang tidak bertentangan
dengan UU dan agama masing-masing. Bagi wanita untuk melakukan perkawinan lagi
ada masa tunggu 3 bulan. Hal ini untuk memastikan apakah mantan istri sedang
hamil atau tidak.
Perkawinan campuran
? perkawinan yang dilakukan 2 orang yang berbeda kewarganegaraannya.
Perkawinan campuran
berakibat pada kewarganegaraan suami/istri dan keturunannya.
HUKUM BENDA
? keseluruhan aturan hukum yang mengatur mengenai benda, meliputi pengertian,
macam-macam benda, dan hak-hak kebendaan.
Hukum Benda bersifat
tertutup dan memaksa.
Tertutup ? seseorang tidak boleh mengadakan hak kebendaan jika hak tersebut
tidak diatur dalam UU
Memaksa ? harus dipatuhi dan dituruti, tidak boleh menyimpang.
Macam-macam benda /
barang
1. Benda berwujud dan tidak berwujud
Arti penting pembagian ini adalah, bagi benda berwujud bergerak dilakukan
dengan penyerahan langsung benda tersebut, bagi benda berwujud tidak bergerak
dilakukan dengan balik nama. Contoh yang menggunakan balik nama : tanah, rumah
dsb. Sedangkan bagi bend a tidak berwujud (seperti piutang) bisa dilakukan
dengan cara cessie ataupun dengan cara penyerahan surat secara langsung.
2. Benda bergerak dan
tidak bergerak
Arti pentingnya pembagian ini terletak pada penguasaan (bezit), penyerahan
(levering), daluarsa (verjaring), serta pembebanan (berzwaring).
Benda Bergerak Benda
Tidak bergerak
Penguasaan Orang yang menguasai benda dianggap pemiliknya Orang yang menguasai
benda belum tentu adalah pemiliknya
Penyerahan Dilakukan dengan langsung Dilakukan dengan balik nama
Daluarsa Tidak mengenal daluarsa Dikenal daluarsa
Pembebanan Dengan penggadaian Dengan di hypotek, hak tanggungan
3. Benda habis dipakai
dan benda tidak habis dipakai
Arti pentingnya pembagian ini terletak pada waktu pembatalan perjanjiannya.
Jika dalam perjanjian objeknya adalah benda habis dipakai, apabila terjadi
pembatalan perjanjian maka akan terjadi kesulitan untuk pemulihan objek
tersebut karena telah terpakai. Maka adri itu, penyelesaiannya adalah dengan
cara mengganti dengan benda yang sejenis dan senilai.
4. Benda yang sudah
ada dan yang akan ada
Arti pentingnya pembagian ini terletak pada pembebanan sebagai jaminan hutang
atau pelaksanaan perjanjian. Sesuai dengan pasal 1320 KUHPerdata, syarat sahnya
perjanjian adalah adanya sepakat,cakap hukum, objek tertentu, dan halal. Jika
objek yang dalam perjanjian itu adalah barang yang sudah ada, maka perjanjian
sah-sah saja. Sebaliknya apabila ibjek yang di-perjanjikan adalah barang yang
akan ada, maka perjanjian itu batal demi hukum.
5. Benda dalam
perdagangan dan benda di luar perdagangan
Arti pentingnya terletak pada cara pemindahtanganan. Benda dalam perdagangan
dapat diperjualbelikan dan diwariskan secara bebas. Tetapi, jika benda di luar
perdagangan tidak dapat diperjualbelikan ataupun diwariskan. Contoh benda di
luar perdagangan : benda wakaf, narkotika, perdagangan wanita untuk pelacuran,
dan lain sebagainya.
6. Benda dapat dibagi
dan tidak dapat dibagi
Arti pentingnya pembagian terletak pada pemenuhan prestasi suatu perikatan.
Contoh benda dapat dibagi : beras, minyak, air, kertas, dll. Sedangkan contoh
benda tidak dapat dibagi : binatang, manusia, mobil, rumah, kapal, dll. Suatu
benda dikatakan tidak dapat dibagi karena akan berubah nama dan fungsinya.
7. Benda terdaftar dan
benda tidak terdaftar
Pada benda terdaftar, kepemilikan dapat dilacak dengan mudah sedangkan pada
benda tidak terdaftar lebih sulit untuk pembuktian kepemilikan. Contoh benda
terdaftar : rumah, mobil, kapal, motor, dll. Benda-benda tersebut ada surat
kepemilikannya. Sedangkan contoh benda tidak terdaftar : uang, telepon, kursi,
dll.
Alat Bukti Dokumen Elektronik Dalam Hukum Perdata
Dengan di
berlakukannya Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik pada tanggal 21 April 2008, maka secara yuridis terciptalah suatu
dasar hukum bagi transaksi-transaksi elektronik dan informasi yang terjadi di
wilayah hukum Indonesia. Setiap kegiatan yang berurusan dengan sistem
elektronik harus mendasarkan hubungan tersebut pada ketentuan-ketentuan yang
tercantum dalam Undang-undang ini. Oleh karena UU ITE ini mengatur suatu
dimensi baru yang belum pernah di atur sebelumnya maka muncullah beberapa
istilah maupun karakteristik baru yang bersesuaian dengan kegiatan di dunia
siber.
Salah satu hal yang
baru adanya suatu bentuk alat bukti yang baru dan sah secara hukum, yaitu
Informasi Elektronik, Dokumen Elektronik atau pun hasil cetak dari Informasi
Elektronik dan Dokumen Elektronik (pasal 5 ayat (1) UU ITE). Ketiga macam alat
bukti ini benar-benar merupakan hal yang baru dalam dunia hukum mengingat belum
adanya peraturan perundang-undangan yang menyatakan dan mengakui alat bukti
elektronik sebagai alat bukti yang sah (lih. Pasal 44 UU ITE).
Email merupakan salah
satu bentuk dokumen elektronik yang berisi informasi elektronik dari pemilik
emailnya. Sebenarnya keberadaan email ini sudah di kenal oleh masyarakat hanya
saja dalam hukum pembuktian (terutama alat bukti) belum di akui secara sah.
Pengakuan secara yuridis melalui pasal 5 ayat (1) UU ITE terhadap ketiga alat
bukti yang baru ini membawa akibat yuridis di akuinya ketiga alat bukti
tersebut sebagai bagian dalam alat bukti yang selama ini berlaku.
Pengakuan alat bukti
elektronik ini merupakan suatu langkah maju dalam hukum pembuktian. Apabila
muncul suatu perkara perdata yang mana mempersengketakan dokumen elektronik,
maka dokumen tersebut dapat di gunakan sebagai acuan bagi para pihak untuk
menyelesaikan perkara atau hakim yang nantinya memutus perkara.
Melihat hal ini
muncullah pertanyaan, termasuk dalam kelompok alat bukti manakah alat bukti
elektronik ini dalam hukum perdata? Pemahaman kedudukan alat bukti eletronik
(dokumen elektronik) ini sangat penting mengingat dalam memeriksa perkara
perdata, hakim memberikan putusannnya dengan mempertimbangkan alat bukti yang
sah dan di akui dalam hukum perdata.
Pentingnya Alat Bukti
Sampai saat ini belum
dapat di temukan suatu definisi yang jelas tentang apa yang di maksud dengan
‘alat bukti yang sah’ itu. Pasal 1866 BW pun dalam rumusannya hanya menyebutkan
‘Alat-alat bukti terdiri atas:…”. Oleh karena itu menurut pendapat penulis yang
di maksud dengan rumusan ‘alat bukti yang sah’ itu adalah alat atau benda yang
secara tertulis di sebutkan atau diakui oleh undang-undang sebagai alat bukti
yang menunjukkan adanya suatu peristiwa hukum.
Keabsahan dari
alat-alat ini jelas sangat bergantung pada pengakuan secara tegas dan jelas
dalam salah satu ketentuan hukum undang-undang. Seperti halnya alat-alat bukti
berupa tulisan, saksi, persangkaan, pengakuan dan sumpah di sebut sebagai alat
yang sah secara hukum karena tertulis dalam ketentuan pasal 1866 BW sebagai
alat bukti. Begitu pula dengan alat bukti elektronik juga dapat di katakan
sebagai alat bukti yang sah secara hukum menurut pasal 5 ayat (1) UU ITE.
Dokumen Elektronik Sebagai Alat Bukti
Permasalahan yang
muncul kemudian, dari kelima macam alat bukti yang diakui dalam hukum perdata
(pasal 1866 BW) termasuk dalam kelompok manakan dokumen elektronik itu. Apabila
di lihat dari kelima macam alat bukti dalam Pasal 1866 BW itu, agaknya dokumen
elektronik hanya bisa di masukkan dalam kategori alat bukti tertulis.
Argumentasi yang dapat
di kemukakan, dokumen elektronik ini pada hakekatnya merupakan tulisan yang di
tuangkan dalam sebuah surat elektronik. Selanjutnya tujuan dari pembuatan
tulisan ini adalah untuk mewujudkan suatu kejadian yang telah terjadi dan
menyatakan perbuatan hukum yang harus dilakukan oleh seseorang.
Pitlo, seorang Guru
besar hukum Perdata menjelaskan hakekat alat bukti tulisan itu sebagai “pembawa
tanda-tanda bacaan yang berarti untuk menterjemahkan suatu pikiran”. Senada
dengan pendapat ini, Sudikno Mertokusumo melengkapinya dengan mendefinisikan
alat bukti surat ‘segala sesuatu yang memuat tanda-tanda bacaan yang di
maksudkan untuk mencurahkan isi hati atau untuk menyampaikan buah pikiran
seseorang dan di pergunakan sebagai pembuktian”.
Terkait dengan hal
ini, keberadaan dokumen elektronik pun di maksudkan untuk mengutarakan maksud
seseorang atau dua belah pihak dalam bentuk surat elektronik yang di setujui
bersama. Oleh karena itu dokumen elektronik ini jelas dapat di kategorikan
sebagai alat bukti dalam bentuk tertulis sebagaimana di atur dalam pasal 1866
BW. Mengenai hal ini pasal 5 ayat (2) UU ITE menyebut dokumen elektronik
sebagai perluasan dari alat bukti yang ada dalam hukum perdata.
Alat bukti tertulis
dalam hukum perdata memang merupakan alat bukti pertama yang di sebutkan dalam
pasal 1866 BW. Ini berarti alat bukti tertulis ini merupakan alat bukti yang
paling krusial dalam pembuktian perkara atau sengketa perdata. Pada prakteknya,
bentuk alat bukti tertulis (surat) ini sangat beraneka ragam, ada tulisan yang
di buat secara asal-asalan (surat biasa), tulisan yang di buat dengan akta
khusus (akta).
Akta pun juga dapat di
bedakan menjadi akta di bawah tangan dan akta otentik. Lalu bagaimana dengan
dokumen elektronik apakah termasuk dalam bentuk surat biasa atau akta. Jika
memang akta, termasuk dalam kategori akta di bawah tangan ataukag akta otentik.
Untuk menjawab
pertanyaan ini seyogyanya kembali diperhatikan definisi dokumen elektronik
sebagaimana di sebutkan pada pasal 1 angka (4) UU ITE, “setiap Informasi
Elektronik yang dibuat, di teruskan, dikirimkan, di terima atau di simpan dalam
bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal atau sejenisnya yang dapat
dilihat, di tampilkan dan/atau didengar melalui komputer atau sistem
elektronik, tidak terbatas pada tulisan, gambar, suara, peta, rancangan, foto,
atau sejenisnya, huruf, tanda, angka ,Kode akses, simbol, atau perforasi yang
memiliki makna atau arti dapat di pahami oleh orang yang mampu memahaminya.”
Dari pengertian pasal
1 angka 4 UU ITE ini bentuk dokumen elektronik sangat beraneka ragam sangat
bergantung pada maksud penggunaan dari dokumen itu sendiri. Apabila dokumen
elektronik itu hanya berupa informasi biasa maka dokumen itu termasuk dalam
surat biasa atau akta di bawah tangan karena memang di buat seadanya dan tidak
digunakan sebagai alat bukti nantinya. Namun jika ternyata dokumen itu
dimaksudkan sebagai dokumen yang otentik, maka dokumen tersebut harus memenuhi
beberapa persyaratan.
Persyaratan utama agar
dokumen elektronik itu dapat dinyatakan sebagai alat bukti yang sah adalah
penggunaan sistem elektronik yang telah mendapatkan sertifikasi elektornik dari
pemerintah (pasal 13-16 UU ITE). Persyaratan yan lain, harus membubuhkan tanda
tangan elektronik, menuangkannya dalam kontrak elektronik yang baku, dll.
Dengan demikian
kedudukan dokumen elektonik sesungguhnya merupakan perluasan dari alat bukti
tertulis sebagaimana di kemukakan dalam pasal 1866 BW. Terhadap kekuatan
pembuktian dokumen tertulis dalam hukum pembuktian perkara perdata sangatlah
bergantung pada bentuk dan maksud dari dokumen itu di buat, dokumen elektronik
dapat di sebut sebagai akta otentik apabila sudah mendapatkan seritifikasi dari
pemerintah dan memenuhi persyaratan sebagai sebuah kontrak elektorbik yang sah.
Sebaliknya apabila sistem elektronik yang dipakai belum mendapat sertifikasi maka
setiap dokumen yang telah di buat tetap dianggap tidak sah.
Pemahaman ini begitu
krusial mengingat praktek bisnis akhir-akhir ini mulai menggunakan media
internet (teknologi informasi) dalam pembuatan dokumen-dokumen perjanjian.
Salah membuat dokumen elektronik akan mengakibatkan kesalahan fatal pada
kekuatan pembuktian dokumen elektornik tersebut sebagai alat bukti yang sah.
1. Saksi
Alat bukti saksi
diatur dalam Pasal 168-172 HIR, 306-309 RBG. Tidak dalam semua hal dapat
didatanglan saksi. Misalnya tentang persatuan harta kekayaan dalam perkawinan
hanya dapat dibuktikan dengan perjanjian kawin ( Pasal 150 BW ), perjanjian
asuransi hanya dapat dibuktikan dengan Polish (pasal 258 KUHD). Kesaksian adalah
kepastian yang diberikan kepada Hakim di persidangan tentang peristiwa yang
disengketakan dengan jalan pemberitahuan secara lisan dan pribadi oleh orang
yang bukan salah satu pihak dalam perkara, yang dipanggil dipersidangan.
Keterangan saksi harus
diberikan secara pribadi dan lisan di persidangan dan tidak boleh diwakilkan.
Pendapat atau dugaan khusus yang timbul karena akal (ratio concludendi) tidak
dianggap sebagai kesaksian (Pasal 171 ayat 2 HIR, 308 ayat 2 RBG, 1907 BW).
Kesaksian bahwa penggugat atau tergugat dalam keadaan sedih, mabuk, dsb tidak
boleh diterima sebagai kesaksian, karena hal tersebut hanya merupakan
kesimpulan atau dugaan saja. Kesaksian hanya boleh diberikan oleh orang yang
mengetahui dengan mata kepala sendiri (ratio sciendi).Dan keterangan saksi yang
sumbernya bukan benar-benar dialami sendiri, didengar secara langsung oleh
saksi atau dengar dari berita orang lain, tidak dianggap sebagai keterangan
saksi (Testimonium de auditu). Akan tetapi, kesaksian de auditu dapat
dipergunakan sebagai sumber Persangkaan. Keterangan seorang saksi saja tanpa
alat bukti lainnya tidak dianggap sebagai pembuktian yang cukup: seorang saksi
bukanlah saksi, unus testis nullus testis (Ps. 169 HIR, 306 RBG, 1905 BW).
Pasal 145 HIR:
(1). Yang tidak dapat
didengar sebagai saksi, adalah :
a. keluarga sedarah
dan keluarga semenda menurut keturunan yang lurus dari salah satu pihak.
b. Suami atau istri
salah satu pihak, meskipun telah bercerai.
c. Anak-anak yang
umurnya tidak diketahu dengan benar bahwa mereka sudah lima belas tahun.
d. Orang gila,
walaupun kadang- kadang ingatannya kembali.
(2) Akan tetapi
keluarga sedarah atau keluarga semenda tidak boleh ditolak sebagai saksi karena
keadaan itu dalam pekara tentang keadaan menurut hokum sipil daripada orang
yagng berperkara atau tentang suatu perjanjian pekerjaan.
(3). Orang yang
tersebtut dalam pasal 146 (1) a dan b, tidak berhak minta mengundurkan diri
dari memberi kesakasiaan dalam perkara yang tersebut dalam ayat dimuka.
(4.) Pengadilan negeri
berkuasa akan mendengarkan diluar sumpah anak-anak atau orang-orang gila yang
kadang-kadang terang ingatannya yang dimaksud dalam ayat pertama. Akan tetapi
keterangan mereka hanya dipakai sebagai penjelasan saja.
Kewajiban saksi
1.
menghadap pengadilan. Dan apabila 2kali tidak datang, maka tiap ketidakhadirannya
dikenakan denda penggantian biaya pemanggilan. Dan akan dipanggil paksa melalui
polisi untuk pemanggilan yang ketiga.
2.
bersumpah.
Saksi apabila tidak mengundurkan diri sebelum memberi keterangan harus disumpah
menurut agamanya (Ps. 147 HIR, 175 RBG, 1911 BW jo pasal 4 S.1920 no. 69)
dihadapan kedua belah pihak di pengadilan.
3.
memberi keterangan. Pertanyaan yang akan diajukan harus melalui hakim, jadi hakim
dapat menolak pertanyaan yang menurutnya tidak relevant
2. Persangkaan
Pada dasarnya
persangkaan adalah alat bukti yang bersifat tidak langsung. Misalnya,
pembuktian ketidakhadiran seseorang pada suatu waktu ditempat tertentu dengan
membuktikan kehadirannya pada waktu yang sama ditempat lain. Menurut ilmu
pengetahuan persangkaan merupakan bukti yang tidak langsung dan dibedakan :
1.
Persangkaan
berdasarkan kenyataan (feitelijke, rechterlijke vermoedens, atau paesumptiones facti). Hakimlah yang menentukan apakah mungkin dan
seberapa jauhkah kemungkinannya untuk membuktikan suatu peristiwa tertentu
dengan membuktikan peristiwa lain.
2.
Persangkaan
berdasarkan hukum (wettelijke atau rechts vermoedens, praesumptiones juris). Undang-undanglah yang menetapkan hubungan
antara peristiwa yang diajukan dan harus dibuktikan dengan peristiwa yang tidak
diajukan. Persangkaan berdasarkan hokum ini dibagi dua:
§ praesumptiones juris
tantum, yaitu persangkaan
berdasarkan hukum yang memungkinkan adanya pembuktian lawan.
§ praesumptiones juris
et de jure yaitu persangkaan
yang berdasarkan hukum yang tidak memungkinkan pembuktian lawan.
Persangkaan diatur
dalam pasal HIR Pasal 172, RBG psl 310, dan BW pasal 1915-1922. Menurut pasal
1915 BW persangkaan adalah kesimpulan-kesimpulan yang oleh UU atau hakim
ditarik dari suatu peristiwa yang terang nyata kearah peristiwa lain yang belum
terang kenyataanya
3. Keterangan Ahli
adalah keterangan pihak ketiga yang objektif dan bertujuan untuk membantu hakim
dalam pemeriksaan guna menambah pengetahuan hakim sendiri. Pada umumnya hakim
menggunakan keterangan seorang ahli agar memperoleh pengetahuan yang lebih
mendalam tentang sesuatu yang hanya dimiliki oleh seorang ahli tertentu,
misalnya tentang hal-hal yang bersifat tekhnis, dsb.
Keterangan ahli diatur
dalam pasal 154 HIR, 181 RBG, 215 RV.
Perbedaan saksi dan saksi ahli / ahli:
§ - kedudukan seorang ahli dapat diganti dengan
ahli lain untuk memberi pendapatnya. Sedangkan saksi pada umumnya tidak, karena
saksi tidak dapat digantikan dengan orang lain.
- Jika dalam saksi
biasa ada asas satu saksi bukan saksi (unus testis nullus testis ) maka tidak demikian dengan saksi ahli
- Seorang ahli pada
umumnya mempunyai keahlian tertentu yang berhubungan dengan peristiwa yang
disengketakan, sedangkan saksi untuk peristiwa yang bersangkutan tidak
diperlukan mempunyai keahlian.
- Seorang saksi
memberikan keterangan atas apa yang dialaminya sendiri sebelum terjadi proses,
sedang ahli memberikan pendapat atau kesimpulannya tentang suatu peristiwa yang
dipersengketakan selama terjadinya
proses.
- Saksi harus
memberikan keterangan secara lisan, keterangan saksi yang ditulis merupakan alat
bukti
tertulis, sedang keterangan ahli yang ditulis tidak termasuk dalam alat bukti
tertulis.
Hakim terikat untuk
mendengar saksi yang akan memberikan keterangan tentang peristiwa yang
relevant,
sedangkan mengenai ahli, hakim bebas untuk mendengar atau tidak.
KADALUARSA
Bagian 1
Kedaluwarsa pada
umumnya
1946. Kedaluwarsa
ialah suatu sarana hukum untuk memperoleh sesuatu atau suatu alasan untuk
dibebaskan dari suatu perikatan dengan lewatnya waktu tertentu dan dengan
terpenuhinya syarat-syarat yang ditentukan dalam undang-undang. (Ov. 47;
KUHPerd. 584, 1381, 1963, 1967 dst.; Sv. 401 dst.)
1947. Seseorang tidak
boleh melepaskan kedaluwarsa sebelum tiba waktunya, tetapi boleh melepaskan
suatu kedaluwarsa yang telah diperolehnya. (AB. 23; KUHPerd. 1063, 1949.)
1948. Pelepasan
kedaluwarsa dapat dilakukan secara tegas atau secara diam-diam. Pelepasan
secara diam-diam disimpulkan dari suatu perbuatan yang menimbulkan dugaan bahwa
seseorang tidak hendak menggunakan suatu hak yang telah diperolehnya. (KUHPerd.
1359, 1382.)
1949. Barangsiapa
tidak diperbolehkan memindahtangankan sesuatu, juga tidak boleh melepaskan
kedaluwarsa yang diperolehnya. (KUHPerd. 1330, 1448.)
1950. Hakim, karena
jabatannya, tidak boleh menggunakan kedaluwarsa. (KUHPerd. 1454, 1520; Rv. 50;
Sv. 407; IR. 371; S. 1882-280; S. 1892-159; Decentr. 22.)
1951. Pada setiap
tingkat pemeriksaan perkara, dapat diajukan adanya kedaluwarsa, bahkan pada
tingkat banding pun. (Rv. 136, 249, 323.)
1952. Kreditur atau
orang lain yang berkepentingan dapat melawan pelepasan kedaluwarsa yang
dilakukan oleh debitur yang secara curang bermaksud mengurangi hak kreditur
atau orang lain tersebut. (KUHPerd. 1341.)
1953. Seseorang tidak
dapat menggunakan kedaluwarsa untuk memperoleh hak milik atas barang-barang
yang tidak beredar dalam perdagangan. (KUHPerd. 521 dst., 537.)
1954. Pemerintah yang
mewakili negara, kepala pemerintahan daerah yang bertindak dalam jabatannya,
dan lembaga-lembaga umum, tunduk pada kedaluwarsa sama seperti orang
perseorangan, dan dapat menggunakannya dengan cara yang sama.
1955. Untuk memperoleh
hak milik atas sesuatu dengan upaya kedaluwarsa, seseorang harus bertindak
sebagai pemilik sesuatu itu dengan menguasainya secara terus-menerus dan tidak
terputus-putus, secara terbuka di hadapan umum, dan secara tegas. (KUHPerd. 529
dst., 543 dst., 548, 560, 1957, 1959, 1963, 1978.)
1956. Perbuatan
memaksa, perbuatan sewenang-wenang atau perbuatan membiarkan begitu saja,
tidaklah menimbulkan suatu besit yang dapat membuahkan kedaluwarsa. (KUHPerd.
557, 1323 dst., 1963.)
1957. Seseorang yang
sekarang menguasai suatu barang, yang membuktikan bahwa ia menguasainya sejak
dulu, dianggap juga telah menguasainya selama selang waktu antara dulu dan
sekarang, tanpa mengurangi pembuktian hal yang sebaliknya. (KUHPerd. 534 dst.,
560, 566, 1916.)
1958. Untuk memenuhi
waktu yang diperlukan untuk kedaluwarsa, dapatlah seseorang menambah waktu
selama ia berkuasa dengan waktu selama berkuasanya orang yang lebih dahulu
berkuasa, dari siapa ia telah memperoleh barangnya, tak peduli bagaimana ia
menggantikan orang itu, baik dengan alas-hak umum maupun dengan alas-hak
khusus, baik dengan cuma-cuma maupun atas beban.(KUHPerd. 541, 833, 955, 1314,
1318, 1955, 1960.)
1959. Orang yang
menguasai suatu barang untuk orang lain, begitu pula para ahli warisnya,
sekali-kali tidak dapat memperoleh sesuatu dengan jalan kedaluwarsa, berapa
lama pun waktu yang telah lewat. Demikian pula seorang penyewa, seorang
penyimpan, seorang penikmat hasil, dan semua orang lain yang memegang suatu barang
berdasarkan suatu persetujuan dengan pemiliknya, tak dapat memperoleh barang
itu dengan jalan kedaluwarsa. (KUHPerd. 535, 540, 556, 756 dst., 1548 dst.,
1694 dst.)
1960. Mereka yang
disebutkan dalam pasal yang lalu dapat memperoleh hak milik dengan jalan
kedaluwarsa, jika alas-hak besit mereka telah berganti, baik karena suatu sebab
yang berasal dari pihak ketiga, maupun karena pembantahan yang mereka lakukan
terhadap hak pemilik. (KUHPerd. 535 dst.; 1955, 1961.)
1961. Mereka yang
telah menerima suatu barang, yang diserahkan dengan alas-hak yang dapat
memindahkan hak milik oleh penyewa, penyimpan dan orang-orang lain yang
menguasai barang itu berdasarkan suatu persetujuan dengan pemiliknya, dapat
memperoleh barang tersebut dengan jalan kedaluwarsa. (KUHPerd. 1955, 1963.)
1962. Kedaluwarsa
dihitung menurut hari, bukan menurut jam. Kedaluwarsa itu diperoleh bila hari
terakhir dari jangka-waktu yang diperlukan telah lewat. (KUHPerd. 1181; KUHD
135 dst.)
Bagian 2
Kedaluwarsa sebagai
suatu sarana hukum untuk memperoleh sesuatu
1963. Seseorang yang
dengan itikad baik memperoleh suatu barang tak bergerak, suatu bunga, atau
suatu piutang lain yang tidak harus dibayar atas tunjuk, dengan suatu besit
selama dua puluh tahun, memperoleh hak milik atasnya dengan jalan kedaluwarsa.
Seseorang yang dengan itikad baik menguasai sesuatu selama tiga puluh tahun,
memperoleh hak milik tanpa dapat dipaksa untuk menunjukkan alas-haknya.
(KUHPerd. 506 dst., 511-2?, 531, 548-2?, 550, 584, 610, 613, 695, 699, 1955,
1964 dst., 1977.)
1964. Suatu tanda
alas-hak yang batal karena suatu cacat dalam bentuknya, tidak dapat digunakan
sebagai dasar suatu kedaluwarsa selama dua puluh tahun. (KUHPerd. 1963.)
1965. Itikad baik
harus dianggap selalu ada, dan barangsiapa mengajukan tuntutan atas dasar
itikad buruk, wajib membuktikannya. (KUHPerd. 533, 1328, 1916.)
1966. Cukuplah bila
pada waktu memperoleh sesuatu itu itikad baik sudah ada. (KUHPerd. 531, 1958,
1963.)
Bagian 3
Kedaluwarsa sebagai
suatu alasan untuk dibebaskan dari suatu kewajiban
1967. Semua tuntutan
hukum, baik yang bersifat kebendaan maupun yang bersifat perorangan, hapus
karena kedaluwarsa dengan lewatnya waktu tiga puluh tahun, sedangkan orang yang
menunjuk adanya kedaluwarsa itu, tidak usah menunjukkan suatu alas hak, dan terhadapnya
tak dapat diajukan suatu tangkisan yang didasarkan pada itikad buruk. (Ov. 47;
KUHPerd. 58, 269, 414, 750, 835, 1039, 1062, 1066, 1068, 1110, 1116, 1381, 1968
dst., 1973, 1993; KUHD 95, 168a, 169, 228a, 229, 229k, 741 dst.; Rv. 102; S.
1832-41.)
1968. (s. d. u. dg. S.
1926-335 jis. 458 dan 565.) Tuntutan para ahli dan pengajar dalam bidang
kebudayaan dan ilmu pengetahuan, untuk pelajaran yang mereka berikan dalam
tiap-tiap bulan atau waktu yang lebih pendek; tuntutan para pengusaha rumah
penginapan dan rumah makan, untuk pemberian penginapan serta makanan; (KUHPerd.
1139-6?; 1147.) tuntutan para buruh yang upahnya harus dibayar dalam bentuk
uang tiap-tiap kali setelah lewat waktu yang kurang dari satu triwulan, untuk
mendapat pembayaran upah mereka serta jumlah kenaikan upah itu menurut pasal
1602q; semua tuntutan ini kedaluwarsa dengan lewatnya waktu satu tahun.
(KUHPerd. 750, 1139-5?, 1147, 1602 1, 1976; KUHD 741.)
1969. (s. d. u. dg. S.
1926-335 jis. 458 dan 565.) Tuntutan para dokter dan ahli obat-obatan, untuk
kunjungan dalam memberikan pelayanan kesehatan, perawatan dan pemberian
obat-obatan; (KUHPerd. 1149-3?.) tuntutan para juru sita, untuk upah mereka
dalam memberitahukan akta-akta dan melaksanakan tugas yang diperintahkan kepada
mereka; (Rv. 99.) tuntutan para pengelola sekolah-berasrama, untuk uang makan
dan pengajaran bagi muridnya; begitu pula tuntutan pengajar-pengajar lainnya
untuk pengajaran yang mereka berikan; (KUHPerd. 1149-6?.) tuntutan pada buruh,
kecuali mereka yang dimaksudkan dalam pasal 1968, untuk pembayaran upah mereka
serta jumlah kenaikan upah itu menurut pasal 1602q; (KUHPerd. 1149-4?.)
semuanya kedaluwarsa dengan lewatnya waktu dua tahun.
1970. Tuntutan para
advokat untuk pembayaran jasa mereka dan tuntutan para pengacara untuk
pembayaran persekot dan upah mereka, hapus karena kedaluwarsa dengan lewatnya
waktu dua tahun, terhitung sejak hari diputusnya perkara, hari tercapainya
perdamaian antara pihak-pihak yang berperkara, atau hari dicabutnya kuasa
pengacara itu. Dalam hal perkara yang tidak selesai, tak dapatlah mereka
menuntut pembayaran persekot dan jasa yang telah ditunggak lebih dari sepuluh
tahun. Tuntutan para notaris untuk pembayaran persekot dan upah mereka,
kedaluwarsa juga dengan lewatnya waktu dua tahun, terhitung sejak hari
dibuatnya akta yang bersangkutan. (KUHPerd. 1974; KUHD 745; Rv. 99.)
1971. (s. d. u. dg. S.
1938-276.) Tuntutan para tukang kayu, tukang batu dan tukang lain untuk
pembayaran bahan-bahan yang mereka berikan dan upah-upah mereka; (KUHPerd. 1139-8?,
1147, 1604, 1968.) tuntutan para pengusaha toko untuk pembayaran barang-barang
yang telah mereka serahkan, sekadar tuntutan ini mengenai pekerjaan dan
penyerahan yang tidak mengenai pekerjaan tetap debitur; (KUHPerd. 1149-5?,
1882.) semua itu kedaluwarsa dengan lewatnya waktu lima tahun. (KUHPerd. 750;
742.)
1972. Kedaluwarsa yang
disebutkan dalam keempat pasal yang lalu terjadi, meskipun seseorang terus
melakukan penyerahan, memberikan jasa dan menjalankan pekerjaannya. Kedaluwarsa
itu hanya berhenti berjalan, bila dibuat suatu pengakuan utang tertulis, atau
bila kedaluwarsa dicegah menurut pasal 1979 dan 1980. (KUHPerd. 1973, 1981.)
1973. Namun demikian,
orang yang kepadanya diajukan kedaluwarsa yang disebut dalam pasal 1968, 1969,
1970 dan 1971, dapat menuntut supaya mereka yang menggunakan kedaluwarsa itu
bersumpah bahwa utang mereka benar-benar telah dibayar. Kepada para janda dan
para ahli waris, atau jika mereka yang disebut terakhir ini belum dewasa,
kepada para wali mereka, dapat diperintahkan sumpah untuk menerangkan bahwa
mereka tidak tahu tentang adanya utang yang demikian. (KUHPerd. 330, 1882,
1930, 1976; KUHD 747.)
1974. Para hakim dan
pengacara tidak bertanggung jawab atas penyerahan surat-surat setelah lewat
waktu lima tahun sesudah pemutusan perkara. Para juru sita dibebaskan dari
pertanggungjawaban tentang hak itu setelah lewat waktu dua tahun, terhitung
sejak pelaksanaan kuasa atau pemberitahuan akta-akta yang ditugaskan kepada
mereka. (KUHPerd. 1969 dst.)
1975. Bunga atas bunga
abadi atau bunga cagak-hidup; (KUHPerd. 1770, 1775.) bunga atas tunjangan
tahunan untuk pemeliharaan; (KUHPerd. 321 dst., 1429-3?.) harga sewa rumah dan
tanah; (KUHPerd. 1139-2?, 1140 dst.) bunga atas uang pinjaman, dan pada umumnya
segala sesuatu yang harus dibayar tiap tahun atau tiap waktu tertentu yang
lebih pendek; (KUHPerd. 1250, 1515, 1586, 1765 dst.) semua itu kedaluwarsa
setelah lewat waktu lima tahun.
1976. Kedaluwarsa yang
diatur pada pasal 1968 dan seterusnya dalam bab ini, berlaku bagi anak-anak
yang belum dewasa dan orang-orang yang berada di bawah pengampuan; hal ini
tidak mengurangi tuntutan mereka akan ganti-rugi terhadap para wali atau para
pengampu mereka, (KUHPerd. 1987; Octr. 539.)
1977. Barangsiapa
menguasai barang bergerak yang tidak berupa bunga atau piutang yang tidak harus
dibayar atas tunjuk, dianggap sebagai pemiliknya sepenuhnya. (s. d. u. dg. S.
1917-497.) Walaupun demikian, barangsiapa kehilangan atau kecurian suatu
barang, dalam jangka waktu tiga tahun, terhitung sejak hari barang itu hilang
atau dicuri, dapatlah menuntut supaya barang yang hilang atau dicuri itu
dikembalikan pemegangnya, tanpa mengurangi hak orang yang disebut terakhir ini
untuk minta ganti rugi kepada orang yang menyerahkan barang itu kepadanya, pula
tanpa mengurangi ketentuan pasal 582. (KUHPerd. 471, 509 dst., 511-2?, 550,
555, 574, 613, 1152, 1429-1?, 1470, 1702, 1963; KUHD 3144, 555, 568f, 7493; Rv.
70 dst., 535 dst.; S. 1860-64 jo. S. 1892-155; S. 1948-266 pasal 2.)
Bagian 4
Sebab-sebab yang
mencegah kedaluwarsa
1978. Kedaluwarsa
dicegah bila pemanfaatan barang itu dirampas selama lebih dari satu tahun dari
tangan orang yang menguasainya, baik oleh pemiliknya semula maupun oleh pihak
ketiga. (KUHPerd. 545, 558, 565 dst., 1955.)
1979. Kedaluwarsa itu
dicegah pula oleh suatu peringatan, suatu gugatan, dan tiap perbuatan berupa
tuntutan hukum, masing-masing dengan pemberitahuan dalam bentuk yang telah
ditentukan, ditandatangani oleh pejabat yang berwenang dalam hal itu atas nama
pihak yang berhak, dan disampaikan kepada orang yang hendak dicegah memperoleh
kedaluwarsa itu. (KUHPerd. 1983; Rv. 1, 275; F. 35.)
1980. Gugatan di muka
hakim yang tidak berkuasa, juga mencegah kedaluwarsa. (Rv. 130.)
1981. Namun
kedaluwarsa tidak dicegah, bila peringatan atau gugatan dicabut atau dinyatakan
batal, entah karena penggugat menggugurkan tuntutannya, entah karena tuntutan
itu dinyatakan gugur akibat lewatnya waktunya. (Rv. 92 dst., 271 dst., 273
dst.)
1982. Pengakuan akan
hak seseorang yang terhadapnya kedaluwarsa berjalan, yang diberikan dengan
kata-kata atau dengan perbuatan oleh orang yang menguasainya atau oleh debitur,
juga mencegah kedaluwarsa. (KUHPerd. 1390, 1397 dst., 1766, 1892, 1972.)
1983. Pemberitahuan
menurut pasal 1979 kepada salah seorang debitur dalam perikatan tanggung-menanggung,
atau pengakuan orang tersebut, mencegah kedaluwasa terhadap para debitur
lainnya, bahkan pula terhadap para ahli waris mereka. (KUHD 1701, 271 dst.)
Pemberitahuan kepada ahli waris salah seorang debitur dalam perikatan
tanggung-menanggung, atau pengakuan ahli waris tersebut, tidaklah mencegah
kedaluwarsa terhadap para ahli waris debitur lainnya, bahkan juga dalam hal
suatu utang hipotek, kecuali untuk bagian ahli waris tersebut. Dengan
pemberitahuan atau pengakuan ini kedaluwarsa terhadap para debitur lain itu
tidak dicegah lebih lanjut, kecuali untuk bagian ahli waris tersebut. Untuk
mencegah kedaluwarsa seluruh utang terhadap para debitur lainnya, perlu ada
suatu pemberitahuan kepada semua ahli waris atau suatu pengakuan dari semua
ahli waris itu. (KUHPerd. 1280, 1298, 1300-1?, 1301.)
1984. Pemberitahuan
yang dilakukan kepada debitur utama pengakuan yang diberikan oleh debitur utama
mencegah kedaluwarsa terhadap penanggung utang. (KUHPerd. 1845; KUHD 1701,
229a1.)
1985. Pencegahan
kedaluwarsa yang dilakukan oleh salah seorang kreditur dalam suatu perikatan
tanggung-menanggung berlaku bagi semua kreditur lainnya. (KUHPerd. 1979.)
Bagian 5
Sebab-sebab yang
menangguhkan kedaluwarsa
1986. Kedaluwarsa
berlaku terhadap siapa saja, kecuali terhadap mereka yang dikecualikan oleh
undang-undang. (KUHPerd. 269, 387, 670, 710, 1954, 1987 dst.)
1987. Kedaluwarsa
tidak dapat mulai berlaku atau berlangsung terhadap anak-anak yang belum dewasa
dan orang-orang yang ada di bawah pengampuan, kecuali dalam hal-hal yang
ditentukan undang-undang. (KUHPerd. 330, 424 dst., 452, 1522, 1976; KUHD 170,
229a; Rv. 274, 336.)
1988. Kedaluwarsa
tidak dapat terjadi di antara suami-istri. (KUHD 170, 229a.)
1989. Kedaluwarsa
tidak berlaku terhadap seorang istri selama ia berada dalam status perkawinan:
1?. bila tuntutan si istri tidak dapat diteruskan, kecuali setelah ia memilih
akan menerima persatuan atau akan melepaskannya. (KUHPerd. 132 dst.) 2?. bila
si suami, karena menjual barang milik pribadi si istri tanpa persetujuannya,
harus menanggung penjualan itu, dan tuntutan si istri harus ditujukan kepada si
suami. (KUHPerd. 105, 1492 dst.; Rv. 70 dst.)
1990. Kedaluwarsa
tidak berjalan: terhadap piutang yang bersyarat, selama syarat ini tidak
dipenuhi; (KUHPerd. 1261, 1263.) dalam hal suatu perkara untuk menanggung suatu
penjualan, selama belum ada putusan untuk menyerahkan barang yang bersangkutan
kepada orang lain; (KUHPerd. 1491 dst.; Rv. 70 dst.) terhadap suatu piutang
yang baru dapat ditagih pada hari yang telah ditentukan, selama hari itu belum
tiba. (KUHPerd. 387, 1268 dst.)
1991. Terhadap seorang
ahli waris yang telah menerima suatu warisan dengan hak istimewa untuk membuat
pendaftaran harta peninggalan, tidak dapat dikenakan kedaluwarsa mengenai
piutang-piutangnya terhadap harta peninggalan. (KUHPerd. 1030, 1032-2?, 1050;
Rv. 337, 697.) Kedaluwarsa berlaku terhadap suatu warisan yang tak terurus,
meskipun tidak ada pengampu warisan itu. (KUHPerd. 1126 dst., 1986.)
1992. Kedaluwarsa itu
berlaku selama ahli waris masih mengadakan perundingan mengenai warisannya.
(KUHPerd. 1023 dst.; Rv.-337.)
Ketentuan Penutup
1993. Kedaluwarsa yang
sudah mulai berjalan sebelum Kitab Undang-undang Hukum Perdata ini diundangkan,
harus diatur menurut undang-undang yang pada saat itu berlaku di Indonesia.
(Ov. 54; AB. 2; S. 1829-86, S. 1832-41; S. 1867-110.) Namun kedaluwarsa
demikian yang menurut perundang-undangan lama masih membutuhkan waktu selama
lebih dari tiga puluh tahun, terhitung sejak Kitab Undang-undang Hukum Perdata
ini diundangkan, akan terpenuhi dengan lewatnya waktu tiga puluh tahun itu.
(Sv. 408; S. 1850-:3.)
HUKUM DAGANG
Asal-usul KUHD
Berdasarkan pasal II
Aturan Peralihan Undang-undang dasar Republik Indonesia 1945, maka KUHD masih
berlaku di Indonesia. KUHD Indonesia diumumkan dengan publikasi tanggal 30
April 1847 (S. 1847 – 23), yang mulai berlaku pada tanggal 1 Mei 1848. KUHD
Indonesia itu hanya turunan belaka dari “Wetboek van Koophandel”, Belanda, yang
dibuat atas dasar konkordansi (pasal 131 I.S.). Wetboek van Koophandel Belanda
itu juga meneladan dari “Code du Commerce” Prancis 1808, tetapi anehnya tidak
semua lembaga hukum yang diatur dalam “Code du Commerce” Prancis itu diambil
alih oleh “Wetboek van Koophandle” Belanda. Ada beberapa hal yang tidak
diambil, misalnya mengenai peradilan khusus tentang perselisihan-perselisihan
dalam lapangan perniagaan (speciale handscerchtbanken).
Kodifikasi hukum
dagang yang pertama
Dahulu sebelum zaman Romawi, di samping Hukum Perdata yang mengatur
hubungan-hubungan hukum antar perseorangan yang sekarang termasuk dalam KUHPer,
para pedagang membutuhkan peraturan-peraturan mengenai perniagaan. Karena
perniagaan makin lama makin berkembang, maka kebutuhan hukum perniagaan atau
hukum dagang makin bertambah. Lama kelamaan, hukum dagang yang pada waktu itu masih merupakan hukum
kebiasaan, begitu banyak,
sehingga dipandang perlu untuk mengadakan kodifikasi. Kodifikasi hukum dagang
yang pertama dibuat, atas perintah raja Lodewijk XIV di Prancis, yaitu Ordonnance du Commerce 1673 dan Ordonnance de la Marine 1681.
PENDAHULUAN
Sebelum kita melangkah
lebih jauh dan mendalam, kita dituntut untuk mengerti dan memahami Hukum
Dagang. Dan penerarapannya dalam kehidupan sehari-hari. Langkah pertama kita
dalam membicarakan Hukum Dagang dalam negara diawali dengan mengemukakan
definisi dagang itu sendiri. Dengan terlebih dahulu mengemukakan definisinya
yang sudah disepakati oleh pakar-pakar ilmu hukum dagang sendiri, kita akan
mengetahui berbagai faktor dalam proses kemunculannya.
Di sini kami akan
mengemukakan beberapa pendapat dan berbagai pemikiran tentang definisi dagang.
Mayoritas masyarakat dalam mendefinisikan dagang cenderung pada segi penjualan.
Kecenderungan ini telah tersiar baik di masyarakat sekitar. Akan kami sebutkan
beberapa contoh dari kecenderungan tersebut dan kami sedikit mengungkapkan dan
membahas juga menjawab asas-asas hukum dagang dalam tulisan ini.
PERMASALAHAN
Dari uraian di atas
dapat disimpulkan beberapa permasalahan, yaitu apakah ada kaitannya dengan
masyarakat dan hubungannya atau dalam istilah lain. Apa manfaatnya asas-asas
hukum dagang itu bagi masyarakat.
PEMBAHASAN
Definisi Dagang
Perdagangan atau
perniagaan dalam arti umum ialah pekerjaan membeli barang dari suatu tempat
atau pada suatu waktu dan menjual barang itu di tempat lain atau pada waktu
yang berikut dengan maksud memperoleh keuntungan.
Di zaman yang modern
ini perdagangan adalah pemberian perantaraan kepada produsen dan konsumen untuk
membelikan menjual barang-barang yang memudahkan dan memajukan pembelian dan
penjualan.
Adapun pemberian
perantaraan kepada produsen dan konsumen itu meliputi beberapa macam pekerjaan,
misalnya :
1.Makelar, komisioner
2.Badan-badan usaha
(assosiasi-assosiasi). Contoh : P.T, V.O.F
3.Asuransi
4.Perantara bankir
5.Surat perniagaan
untuk melakukan pembayaran, dengan cara memperoleh kredit, dan sebagainya.
Orang membagi jenis
perdagangan itu :
1.Menurut pekerjaan
yang di lakukan perdagangan
2.Menurut jenis barang
yang diperdagangkan
3.Menurut daerah,
tempat perdagangan itu dijalankan
Adapun usaha
perniagaan itu meliputi :
1.Benda-benda yang
dapat di raba, dilihat serta hak-haknya
2.Para pelanggan
3.Rahasia-rahasia
perusahaan.
Menurut Mr. M. Polak
dan Mr. W.L.P.A Molengraaff, bahwa : Kekayaan dari usaha perniagaan ini tidak
terpisah dari kekayaan prive perusahaan.
Dengan demikian sistem
atau perusahaan-perusahaan perdagangan yang berlaku pada umumnya tidak
mempertahankan memisah-misahkan kekayaan perusahaan dari kekayaan prive
perusahaan, berhubung dengan pertanggungan jawab pihak pengusaha terhadap
pihak-pihak ketiga. (para kreditor).
Menurut sejarah hukum dagang
Perkembangan dimulai
sejak kurang lebih tahun 1500. di Italia dan Perancis selatan lahir kota-kota
pesat perdagangan seperti Florence, Vennetia, Marseille, Barcelona, dan
lain-lain.
Pada hukum Romawi (corpus loris civilis) dapat memberikan penyelesaian yang ada pada
waktu itu, sehingga para pedagang (gilda) memberikan sebuah peraturan sendiri yang bersifat kedaerahan.
Sistematika KUHD
Hukum dagang di
Indonesia terutama bersumber pada :
1.Hukum tertulis yang
sudah di kodifikasikan
a.KUHD (kitab
undang-undang hukum dagang) atau wetboek van koophandel Indonesia (W.K)
b.KUHPer (kitab
undang-undang hukum sipil) atau Burgerlijk wetboek Indonesia (B.W)
2.Hukum-hukum tertulis
yang belum dikoodifikasikan, yakni :
Perudang-undangan
khusus yang mengatur tentang hal-hal yang berhubungan dengan perdagangan.
Hukum dagang di atas
terkait dengan hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang terbit dari pelajaran, dan
dagang pada umumnya.
KUHD di Indonesia
kira-kira satu abad yang lalu di bawa dari Belanda ke tanah air kita, dan KUHD
ini berlaku di Indonesia pada 1 Mei 1848 yang kitabnya terbagi atas dua,
masing-masing kitab di bagi menjadi beberapa bab tentang hukum dagang itu
sendiri. Dan terbagi dalam bagian-bagian, dan masing-masing bagian itu di bagi
dalam bagian-bagian dan masing menjadi pasal-pasal atau ayat-ayat.
Pada bagian KUHPer itu
mengatur tentang hukum dagang. Hal-hal yang diatur dalam KUHPer adalah mengenai
perikatan umumnya seperti :
1.ersetujuan jual beli
(contract
of sale)
2.Persetujuan sewa-menyewa
(contract
of hire)
3.Persetujuan pinjaman
uang (contract of loun)
Hukum dagang selain di
atur KUHD dan KUHPer juga terdapat berbagai peraturan-peraturan khusus (yang
belum di koodifikasikan) seperti :
1.Peraturan tentang
koperasi
2.Peraturan pailisemen
3.Undang-undang oktroi
4.Peraturan lalu
lintas
5.Peraturan maskapai
andil Indonesia
6.Peraturan tentang
perusahaan negara
Hubungan Hukum Perdata dan KUHD
Hukum dagang merupakan
keseluruhan dari aturan-aturan hukum yang mengatur dengan disertai sanksi perbuatan-perbuatan
manusia di dalam usaha mereka untuk menjalankan usaha atau perdagangan.
Menurut Prof. Subekti,
S.H berpendapat bahwa :
Terdapatnya KUHD dan
KUHPer sekarang tidak dianggap pada tempatnya, oleh karena “Hukum Dagang” tidak
lain adalah “hukum perdata” itu sendiri melainkan pengertian perekonomian.
Hukum dagang dan hukum
perdata bersifat asasi terbukti di dalam :
1. Pasal 1 KUHD
2.Perjanjian jual beli
3.Asuransi yang
diterapkan dalam KUHD dagang
Dalam hubungan hukum
dagang dan hukum perdata dibandingkan pada sistem hukum yang bersangkutan pada
negara itu sendiri. Hal ini berarti bahwa yang di atur dalam KUHD sepanjang
tidak terdapat peraturan-peraturan khusus yang berlainan, juga berlaku
peraturan-peraturan dalam KUHPer, bahwa kedudukan KUHD terdapat KUHPer adalah
sebagai hukum khusus terhadap hukum umum.
Perantara dalam Hukum Dagang
Pada zaman modern ini
perdagangan dapat diartikan sebagai pemberian perantaraan dari produsen kepada
konsumen dalam hal pembelian dan penjualan.
Pemberian perantaraan
produsen kepada konsumen dapat meliputi aneka macam pekerjaan seperti misalnya
:
1. Perkerjaan
perantaraan sebagai makelar, komisioner, perdagangan dan sebagainya.
2. Pengangkutan untuk
kepentingan lalu lintas baik di darat, laut dan udara
3. Pertanggungan
(asuransi) yang berhubungan dengan pengangkutan, supaya pedagang dapat menutup
resiko pengangkutan dengan asuransi.
Pengangkutan
Pengangkutan adalah
perjanjian di mana satu pihak menyanggupi untuk dengan aman membawa
orang/barang dari satu tempat ke lain tempat, sedang pihak lainnya menyanggupi
akan membayar ongkos. Menurut undang-undang, seorang pengangkut hanya
menyanggupi untuk melaksanakan pengakutan saja, tidak perlu ia sendiri yang
mengusahakan alat pengangkutan.
Di dalam hukum dagang
di samping conossement masih di kenal surat-surat berharga yang lain, misalnya,
cheque, wesel yang sama-sama merupakan perintah membayar dan keduanya memiliki
perbedaan.
Cheque sebagai alat
pembayaran, sedangkan wesel di samping sebagai alat pembayaran keduanya memiliki
fungsi lain yaitu sebagai barang dagangan, suatu alat penagihan, ataupun
sebagai pemberian kredit.
Asuransi
Asuransi adalah suatu
perjanjian yang dengan sengaja digantungkan pada suatu kejadian yang belum
tentu, kejadian mana akan menentukan untung ruginya salah satu pihak. Asuransi
merupakan perjanjian di mana seorang penanggung, dengan menerima suatu premi
menyanggupi kepada yang tertanggung, untuk memberikan penggantian dari suatu
kerugian atau kehilangan keuntungan yang mungkin di derita oleh orang yang
ditanggung sebagai akibat dari suatu kejadian yang tidak tentu
Sumber-sumber Hukum
Sumber-sumber hukum
meliputi yang terdapat pada :
1. Kitab undang-undang
hukum perdata
2.Kitab undang-undang
hukum dagang, kebiasaan, yurisprudensi dan peraturan-peraturan tertulis lainnya
antara lain undang-undang tentang bentuk-bentuk usaha negara (No.9 tahun 1969)
3. Undang-undang
oktroi
4.Undang-undang
tentang merek
5. Undang-undang
tentang kadin
6. undang-undang
tentang perindustrian, koperasi, pailisemen dan lain-lain.
Persetujuan Dagang
Dalam hukum dagang di
kenal beberapa macam persekutuan dagang, antara lain :
1.Firma
2.Perseroan komanditer
3.Perseroan terbatas
4.Koperasi
DAFTAR PUSTAKA
Siti Soetami, SH., Pengantar Tatat Hukum
Indonesia, Refika Aditama,
Bandung, 2001.
Kansil, SH., Pengantar Ilmu Hukum
dan Tata Hukum Indonesia,
Balai Pustaka, Jakarta, 1989.
Krass, Peter (ed), The Book of Business Wisdom, John Wiley & Sons, New York, 1998.