PENEGAK
HUKUM SEBAGAI UJUNG TOMBAK PENENTU KEADILAN
NAMA : PAULUS DADING INDRIATMOKO
NIM : 201141009
FAKULTAS : HUKUM
Universitas
Katolik Widya Karya Malang
2011/2012
KATA PENGANTAR
Penulis mengucapkan Puji Tuhan Yang Maha Esa,
atas berkat dan rahmatnya, sehingga makalah ini dapat selesai dibuat tepat pada
waktunya. Dan akhirnya dapat melengkapi tugas Ujian Tengah Semester (UTS) dari
mata kuliah Pengantar Hukum Indonesia (PHI) dari dosen mata kuliah Hermanto
Silalahi,SH.,M.Hum .
Semoga makalah ini dapat berguna bagi pembaca. Penulis
menyadari bahwa makalah ini jauh dari kata sempurna, maka penulis menerima
kritik dan saran yang membangun agar makala selanjutnya menjadi lebih baik lagi.
Malang,
30 November 2011
Paulus
Dading Indriatmoko
BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
I.I Latar Belakang
Ketika
bicara penegak hukum di Indonesia, barangkali masyarakat sudah bosan dan lelah
menyaksikan paradoks-paradoks yang terjadi dalam kehidupan hukum di negeri ini.
Sudah banyak isu - isu miring yang dialamatkan kepada aparat penegak hukum,
baik itu polisi, jaksa maupun hakim. Sudah banyak tuduhan-tuduhan yang telah
disuarakan oleh berbagai elemen masyarakat, tentang banyaknya para koruptor
penjarah uang rakyat milyaran dan bahkan triliunan rupiah dibebaskan oleh
pengadilan. Dan kalaupun dihukum hanya sebanding dengan hukuman pencuri ayam.
Dengan mata telanjang dapat disaksikan bahwa orang miskin akan sangat kesulitan
mencari keadilan diruang pengadilan, sedangkan orang berduit akan begitu mudah
mendapatkan keadilan. Bukan rahasia lagi, bahwa dalam proses peradilan perkara
pidana bila ingin mendapat keringanan atau bahkan bebas dari jeratan hukum
harus menyediakan uang, begitu juga para pihak dalam perkara perdata, bila
ingin memenangkan perkara maka harus menyediakan sejumlah uang. Dengan kata
lain bahwa putusan pengadilan dapat dibeli dengan uang, karena yang menjadi
parameter untuk keringanan hukuman dalam perkara pidana dan menang kalahnya
dalam perkara perdata lebih kepada pertimbangan berapa jumlah uang untuk itu
daripada pertimbangan hukum yang bersandar pada keadilan dan kebenaran.
I.II PERUMUSAN MASALAH
Berdasarkan uraian tersebut di atas dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut :
1. Apakah benar timbulnya disparitas penjatuhan sanksi pidana oleh Pengadilan disebabkan oleh adanya konspirasi antara aparat penegak hukum dengan masyarakat / pihak yang berperkara (pelaku maupun korban).
2. Bagaimana usaha-usaha untuk meminimalisir terjadinya disparitas penjatuhan sanksi pidana oleh pengadilan?
Berdasarkan uraian tersebut di atas dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut :
1. Apakah benar timbulnya disparitas penjatuhan sanksi pidana oleh Pengadilan disebabkan oleh adanya konspirasi antara aparat penegak hukum dengan masyarakat / pihak yang berperkara (pelaku maupun korban).
2. Bagaimana usaha-usaha untuk meminimalisir terjadinya disparitas penjatuhan sanksi pidana oleh pengadilan?
I.III
TUJUAN PENELITIAN
Berdasarkan uraian dalam latar
belakang masalah dan perumusan masalah, maka tujuan penelitian ini adalah :
1. Untuk menemukan sebuah teori dalam proses peradilan pidana sehingga dapat mencari solusi terbaik guna meminimalisir terjadinya disparitas penjatuhan sanski pidana oleh hakim (pengadilan).
2. Untuk dapat memberikan kontribusi positif bagi pengambil kebijakan guna mencegah atau mengurangi terjadinya disparitas penjatuhan sanksi pidana oleh hakim pengadilan).
1. Untuk menemukan sebuah teori dalam proses peradilan pidana sehingga dapat mencari solusi terbaik guna meminimalisir terjadinya disparitas penjatuhan sanski pidana oleh hakim (pengadilan).
2. Untuk dapat memberikan kontribusi positif bagi pengambil kebijakan guna mencegah atau mengurangi terjadinya disparitas penjatuhan sanksi pidana oleh hakim pengadilan).
BAB
II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
SUMBER WIBAWA HUKUM
Dalam pikiran para yuris, proses peradilan sering hanya
diterjemahkan sebagai suatu proses memeriksa dan mengadili
secara penuh dengan berdasarkan hukum positif semata-mata.
Pandangan yang formal legistis ini mendominasi pemikiran para
penegak hukum, sehingga apa yang menjadi bunyi undang-undang,
itulah yang akan menjadi hukumnya.
Kelemahan utama pandangan ini adalah terjadinya penegakan
hukum yang kaku, tidak diskresi dan cenderung mengabaikan rasa
keadilan masyarakat karena lebih mengutamakan kepastian hukum.
Proses mengadili – dalam kenyataannya bukanlah proses yuridis
semata. Proses peradilan bukan hanya proses menerapkan pasal-
pasal dan bunyi undang – undang, melainkan proses yang
melibatkan perilaku –perilaku masyarakat dan berlangsung dalam
struktur sosial tertentu. Penelitian yang telah dilakukan oleh Marc
Galanter di Amerika Serikat dapat menunjukkan bahwa suatu
putusan hakim ibaratnya hanyalah pengesahan saja dari
kesepakatan yang telah dicapai oleh para pihak. Dalam perspektif
sosiologis, lembaga pengadilan merupakan lembaga yang multi
fungsi dan merupakan tempat untuk ”record keeping”, ”site of
administrative processing”, ”ceremonial changes of status”,
”settlement negotiation”, ”mediations and arbitration”, dan warfare. Produk dari pengadilan adalah putusan hakim. Dari sinilah
awal dapat dibangunnya wibawa hukum. Dalam putusan hakim,
wibawa hukum dipertaruhkan. Para petinggi hukum tidak perlu
berteriak-teriak minta kepada masyarakat agar menghormati
pengadilan. Cukuplah apabila pengadilan di tingkat PN, PT ataupun
MA membuat putusan yang bermutu tinggi, maka rasa hormat itu
akan datang dengan sendirinya.
Kiranya masyarakat dapat memberikan penilaian tersendiri
terhadap mutu putusan para hakim. Haruslah disadari benar bahwa
menegakkan wibawa pengadilan tidaklah semudah membalik
telapak tangan. Sistem peradilan di Indonesia yang merupakan
warisan kolonial Belanda sedikit banyak menyulitkan dalam
prakteknya. Sisa-sisa perilaku sebagai bangsa terjajah masih
tampak di kalangan para hakim. Sebagai contoh, sampai saat ini
kita masih bisa melihat digunakannya Osterman Arrest dari Hoge
Raad Belanda sebagai contoh tentang Perbuatan Melawan Hukum
(PMH). Dari sisi ini setidaknya kita dapat melihat adanya tiga hal,
yaitu : pertama, hakim-hakim kita tidak mempunyai kepercayaan diri
untuk mengutip yuriprudensi dari Mahkamah Agung Indonesia.
Kedua, kemungkinan memang tidak ada putusan hakim (MA) yang
dapat dianggap berkualitas kasus itu. Ketiga, menganggap
yuriprudensi asing selalu lebih valid dan bermutu.
Munculnya kritik-kritik terhadap keberadaan lembaga
peradilan tidak lain karena peradilan kita tidak dapat memberikan
pengayoman kepada warg masyarakat. Putusan pengadilan yang
diharapkan dapat mengembalikan keseimbangan masyarakat yang
terganggu tidak dapat terpenuhi. Adanya isu mafia peradilan,
keadilan dapat dibeli, munculnya bahasa-bahasa yang sarkastis dengan plesetan HAKIM (Hubungi Aku Kalau Ingin Menang),
KUHAP diplesetkan sebagai Kurang Uang Hukuman Penjara,
tidaklah muncul begitu saja. Kesemuanya ini merupakan ”produk
sampingan” dari bekerjanya lembaga-lembaga hukum itu sendiri.
Ungkap-ungkapan ini merupakan reaksi dari rasa keadilan
masyarakat yang terkoyak karena bekerja lembaga-lembaga hukum
yang tidak profesional maupun putusan hakim/putusan pengadilan
yang semata-mata hanya berlandaskan pada aspek yuridis.
Berlakunya hukum di tengah-tengah masyarakat, mengemban
tujuan untuk mewujudkan keadilan, kepastian hukum dan
kemanfaatan dan pemberdayaan sosial bagi masyarakatnya. Untuk
menuju pada cita-cita pengadilan sebagai pengayoman masyarakat,
maka pengadilan harus senantiasa mengedapkan empat tujuan
hukum di atas dalam setiap putusan yang dibuatnya. Hal ini sejalan
dengan apa yang menjadi dasar berpijaknya hukum yaitu ”hukum
untuk kesejahteraan masyarakat”. Dengan demiian, pada akhirnya
tidak hanya dikatakan sebagai Law and Order (Hukum dan
Ketertiban) tetapi telah berubah menjadi Law, Order dan Justice
(Hukum, Ketertiban, dan Ketentraman). Adanya dimensi keadilan
dan ketentraman yang merupakan manifestasi bekerjanya lembaga
pengadilan, akan semakin mendekatkan cita-cita pengadilan
sebagai pengayom masyarakat.
Dalam pikiran para yuris, proses peradilan sering hanya
diterjemahkan sebagai suatu proses memeriksa dan mengadili
secara penuh dengan berdasarkan hukum positif semata-mata.
Pandangan yang formal legistis ini mendominasi pemikiran para
penegak hukum, sehingga apa yang menjadi bunyi undang-undang,
itulah yang akan menjadi hukumnya.
Kelemahan utama pandangan ini adalah terjadinya penegakan
hukum yang kaku, tidak diskresi dan cenderung mengabaikan rasa
keadilan masyarakat karena lebih mengutamakan kepastian hukum.
Proses mengadili – dalam kenyataannya bukanlah proses yuridis
semata. Proses peradilan bukan hanya proses menerapkan pasal-
pasal dan bunyi undang – undang, melainkan proses yang
melibatkan perilaku –perilaku masyarakat dan berlangsung dalam
struktur sosial tertentu. Penelitian yang telah dilakukan oleh Marc
Galanter di Amerika Serikat dapat menunjukkan bahwa suatu
putusan hakim ibaratnya hanyalah pengesahan saja dari
kesepakatan yang telah dicapai oleh para pihak. Dalam perspektif
sosiologis, lembaga pengadilan merupakan lembaga yang multi
fungsi dan merupakan tempat untuk ”record keeping”, ”site of
administrative processing”, ”ceremonial changes of status”,
”settlement negotiation”, ”mediations and arbitration”, dan warfare. Produk dari pengadilan adalah putusan hakim. Dari sinilah
awal dapat dibangunnya wibawa hukum. Dalam putusan hakim,
wibawa hukum dipertaruhkan. Para petinggi hukum tidak perlu
berteriak-teriak minta kepada masyarakat agar menghormati
pengadilan. Cukuplah apabila pengadilan di tingkat PN, PT ataupun
MA membuat putusan yang bermutu tinggi, maka rasa hormat itu
akan datang dengan sendirinya.
Kiranya masyarakat dapat memberikan penilaian tersendiri
terhadap mutu putusan para hakim. Haruslah disadari benar bahwa
menegakkan wibawa pengadilan tidaklah semudah membalik
telapak tangan. Sistem peradilan di Indonesia yang merupakan
warisan kolonial Belanda sedikit banyak menyulitkan dalam
prakteknya. Sisa-sisa perilaku sebagai bangsa terjajah masih
tampak di kalangan para hakim. Sebagai contoh, sampai saat ini
kita masih bisa melihat digunakannya Osterman Arrest dari Hoge
Raad Belanda sebagai contoh tentang Perbuatan Melawan Hukum
(PMH). Dari sisi ini setidaknya kita dapat melihat adanya tiga hal,
yaitu : pertama, hakim-hakim kita tidak mempunyai kepercayaan diri
untuk mengutip yuriprudensi dari Mahkamah Agung Indonesia.
Kedua, kemungkinan memang tidak ada putusan hakim (MA) yang
dapat dianggap berkualitas kasus itu. Ketiga, menganggap
yuriprudensi asing selalu lebih valid dan bermutu.
Munculnya kritik-kritik terhadap keberadaan lembaga
peradilan tidak lain karena peradilan kita tidak dapat memberikan
pengayoman kepada warg masyarakat. Putusan pengadilan yang
diharapkan dapat mengembalikan keseimbangan masyarakat yang
terganggu tidak dapat terpenuhi. Adanya isu mafia peradilan,
keadilan dapat dibeli, munculnya bahasa-bahasa yang sarkastis dengan plesetan HAKIM (Hubungi Aku Kalau Ingin Menang),
KUHAP diplesetkan sebagai Kurang Uang Hukuman Penjara,
tidaklah muncul begitu saja. Kesemuanya ini merupakan ”produk
sampingan” dari bekerjanya lembaga-lembaga hukum itu sendiri.
Ungkap-ungkapan ini merupakan reaksi dari rasa keadilan
masyarakat yang terkoyak karena bekerja lembaga-lembaga hukum
yang tidak profesional maupun putusan hakim/putusan pengadilan
yang semata-mata hanya berlandaskan pada aspek yuridis.
Berlakunya hukum di tengah-tengah masyarakat, mengemban
tujuan untuk mewujudkan keadilan, kepastian hukum dan
kemanfaatan dan pemberdayaan sosial bagi masyarakatnya. Untuk
menuju pada cita-cita pengadilan sebagai pengayoman masyarakat,
maka pengadilan harus senantiasa mengedapkan empat tujuan
hukum di atas dalam setiap putusan yang dibuatnya. Hal ini sejalan
dengan apa yang menjadi dasar berpijaknya hukum yaitu ”hukum
untuk kesejahteraan masyarakat”. Dengan demiian, pada akhirnya
tidak hanya dikatakan sebagai Law and Order (Hukum dan
Ketertiban) tetapi telah berubah menjadi Law, Order dan Justice
(Hukum, Ketertiban, dan Ketentraman). Adanya dimensi keadilan
dan ketentraman yang merupakan manifestasi bekerjanya lembaga
pengadilan, akan semakin mendekatkan cita-cita pengadilan
sebagai pengayom masyarakat.
MEMBUDAYAKAN PERILAKU ANTIKORUPSI
Dalam 10 tahun terakhir, gelombang perubahan yang
menakjubkan telah terjadi di Indonesia. Pemerintah telah memilih
jalan untuk melaksanakan program desentralisasi secara besar-
besaran dan telah melaksanakan pemilihan umum secara langsung
untuk memilih presiden, gubernur, bupati, dan walikota. Hal ini
haruslah dilihat sebagai proses transisi secara damai dari rezim
otoriter kepada rezim demokrasi yang diikuti pula dnegan
perubahan – perubahan kelembagaan dan transformasi regulasi.
Dalam konteks inilah masalah korupsi di Indonesia perlu untuk
dikaji. Korupsi bukanlah sesuatu yang khas Indonesia. Hampir di
kebanyakan negara korupsi selalu terjadi. Korupsi merebak hampir
di semua negara di dunia baik negara industri maupun negara
berkembang. Survei yang dilakukan oleh Transparansi Internasional
menunjukkan bahwa Indonesia merupakan salah satu negara korup
di dunia. Dalam bidang pemberantasan korupsi, skor Indonesia
hanya sejajar dengan Nigeria dan Bangladesh dan tertinggal jauh
apabila dibandingkan dengan Philipina maupun Malaysia.
Hasil survei ini mencerminkan transparansi yang lebih besar
mengenai korupsi di Indonesia dan menunjukkan bahwa
masyarakat Indonesia menjadi salah satu masyarakat yang terbuka.
Masyarakat mengakui bahwa korupsi secara objektif terjadi di
berbagai sektor dan masyarakat juga berpendapat bahwa korupsi
merupakan kejahatan yang harus dibasmi. Korupsi merupakan
ancaman yang besar bagi transmisi politik dan ekonomi di Indonesia
karena korupsi melemahkan kemampuan negara untuk
menyediakan barang – barang publik dan mengurani kredibilitas negara di mata rakyat. Dalam jangka panjang korupsi merupakan
ancaman bagi keberlangsungan demokrasi.
Survei nasional yang dilaksanakan oleh Partnerhip for
Governance Rerofm in Indonesia menyajikan sumber informasi
yang kaya tentang persepsi 2.300 rumah tangga, pejabat publik dan
pengusaha. Hasil survei mengungkapkan bahwa 75 % responden
berpendapat bahwa korupsi sangat lazim di sektor publik. Di
samping itu, 65 % rumah tangga melaporkan telah mengalami
secara langsung dan 70 % responden melihat korupsi sebagai
“penyakit yang harus diberantas”. Survei juga mengungkapkan
tingkat kemarahan publik dan kemuakan terhadap korupsi. 80 %
responden menghendaki agar pejabat-pejabat yang korup
dipenjarakan dan disita kekayaannya. Sebagian kecil responden
menghendaki pejabat tersebut dipermalukan di depan umum. Nyaris
tidak ada dukungan untuk memberikan amnesti atau tumpangan
bagi pelaku korupsi di masa lalu.
Dalam 10 tahun terakhir, gelombang perubahan yang
menakjubkan telah terjadi di Indonesia. Pemerintah telah memilih
jalan untuk melaksanakan program desentralisasi secara besar-
besaran dan telah melaksanakan pemilihan umum secara langsung
untuk memilih presiden, gubernur, bupati, dan walikota. Hal ini
haruslah dilihat sebagai proses transisi secara damai dari rezim
otoriter kepada rezim demokrasi yang diikuti pula dnegan
perubahan – perubahan kelembagaan dan transformasi regulasi.
Dalam konteks inilah masalah korupsi di Indonesia perlu untuk
dikaji. Korupsi bukanlah sesuatu yang khas Indonesia. Hampir di
kebanyakan negara korupsi selalu terjadi. Korupsi merebak hampir
di semua negara di dunia baik negara industri maupun negara
berkembang. Survei yang dilakukan oleh Transparansi Internasional
menunjukkan bahwa Indonesia merupakan salah satu negara korup
di dunia. Dalam bidang pemberantasan korupsi, skor Indonesia
hanya sejajar dengan Nigeria dan Bangladesh dan tertinggal jauh
apabila dibandingkan dengan Philipina maupun Malaysia.
Hasil survei ini mencerminkan transparansi yang lebih besar
mengenai korupsi di Indonesia dan menunjukkan bahwa
masyarakat Indonesia menjadi salah satu masyarakat yang terbuka.
Masyarakat mengakui bahwa korupsi secara objektif terjadi di
berbagai sektor dan masyarakat juga berpendapat bahwa korupsi
merupakan kejahatan yang harus dibasmi. Korupsi merupakan
ancaman yang besar bagi transmisi politik dan ekonomi di Indonesia
karena korupsi melemahkan kemampuan negara untuk
menyediakan barang – barang publik dan mengurani kredibilitas negara di mata rakyat. Dalam jangka panjang korupsi merupakan
ancaman bagi keberlangsungan demokrasi.
Survei nasional yang dilaksanakan oleh Partnerhip for
Governance Rerofm in Indonesia menyajikan sumber informasi
yang kaya tentang persepsi 2.300 rumah tangga, pejabat publik dan
pengusaha. Hasil survei mengungkapkan bahwa 75 % responden
berpendapat bahwa korupsi sangat lazim di sektor publik. Di
samping itu, 65 % rumah tangga melaporkan telah mengalami
secara langsung dan 70 % responden melihat korupsi sebagai
“penyakit yang harus diberantas”. Survei juga mengungkapkan
tingkat kemarahan publik dan kemuakan terhadap korupsi. 80 %
responden menghendaki agar pejabat-pejabat yang korup
dipenjarakan dan disita kekayaannya. Sebagian kecil responden
menghendaki pejabat tersebut dipermalukan di depan umum. Nyaris
tidak ada dukungan untuk memberikan amnesti atau tumpangan
bagi pelaku korupsi di masa lalu.
Survei tersebut
menawarkan tiga temuan yang signifikan.
Pertama, orang tidak terlalu percaya pada lembaga – lembaga
negara. Lembaga-lembaga yang dianggap paling paling korup
termasuk di sektor peradilan (Kepolisian, Pengadilan, Kejaksaan
dan Departemen Kehakiman), instansi – instansi pendapatan (Dinas
Pabean dan Instansi perpajakan), Departemen Pekerjaan Umum
dan Bank Indonesia. Kedua, lembaga – lembaga yang diranking
paling korup juga dianggap kurang efisien dalam penyampaian jasa.
Ketiga, survei tersebut memberi wawasan terhadap penyebab-
penyebab aktual di Indonesia. Walaupun hasil survei menunjukka
kepercayaan yang kuat bahwa korupsi disebabkan oleh gaji
pegawai yang rendah, rendahnya moral perorangan, serta tidak adanya pengendali – pengendali dan akuntabilitas, namun analisis
data yang cermat menunjukkan bahwa empat variabel tersebut
berkorelasi dengan manajemen bermutu tinggi, nilai – nilai
organisasi yang anti korupsi, manajemen kepegawaian bermutu
tinggi dan manajemen pengadaan barang bermutu tinggi.
Sebagai warisan yang sudah berkembang sejak jaman VOC,
pemberantasan korupsi diyakini akan sulit dilakukan karena akan
menentang kepentingan – kepentingan kelompok yang kuat,
terorganisasi secara rapi dalam kelompok – kelompok yang saling
menguntungkan. Terjadinya distorsi – distorsi secara sistematis
dalam struktur yang menghalalkan sistem insentif sehingga mampu
mengubah cara pengambilan keputusan masyarakat sehingga
mengubah pula perilaku masyarakat yang bebas korupsi akan
tergambar suasana sebagai berikut : (1) Birokrasi sebagai pelayan
publik merasa bertanggung jawab atas pelayanan mereka, merasa
takut untuk memungut biaya tidak resmi dan akan mendapatkan
takut untuk memungut biaya tidak resmi dan akan mendapatkan
insentif resmi karena bertindak jujur. (2) Masyarakat menganggap
aturan – aturan akan ditaati sehingga masyarakat memposisikan
perilakunya dalam kerangka peraturan tersebut. (3) Masyarakat
tidak perlu membayar insentif tidak resmi (komisi, suap, uang
pelicin) karena mengetahui bahwa tanpa membayar pun akan
dilindungi hak-haknya untuk mendapatkan pelayanan publik yang
berkualitas.
Pertama, orang tidak terlalu percaya pada lembaga – lembaga
negara. Lembaga-lembaga yang dianggap paling paling korup
termasuk di sektor peradilan (Kepolisian, Pengadilan, Kejaksaan
dan Departemen Kehakiman), instansi – instansi pendapatan (Dinas
Pabean dan Instansi perpajakan), Departemen Pekerjaan Umum
dan Bank Indonesia. Kedua, lembaga – lembaga yang diranking
paling korup juga dianggap kurang efisien dalam penyampaian jasa.
Ketiga, survei tersebut memberi wawasan terhadap penyebab-
penyebab aktual di Indonesia. Walaupun hasil survei menunjukka
kepercayaan yang kuat bahwa korupsi disebabkan oleh gaji
pegawai yang rendah, rendahnya moral perorangan, serta tidak adanya pengendali – pengendali dan akuntabilitas, namun analisis
data yang cermat menunjukkan bahwa empat variabel tersebut
berkorelasi dengan manajemen bermutu tinggi, nilai – nilai
organisasi yang anti korupsi, manajemen kepegawaian bermutu
tinggi dan manajemen pengadaan barang bermutu tinggi.
Sebagai warisan yang sudah berkembang sejak jaman VOC,
pemberantasan korupsi diyakini akan sulit dilakukan karena akan
menentang kepentingan – kepentingan kelompok yang kuat,
terorganisasi secara rapi dalam kelompok – kelompok yang saling
menguntungkan. Terjadinya distorsi – distorsi secara sistematis
dalam struktur yang menghalalkan sistem insentif sehingga mampu
mengubah cara pengambilan keputusan masyarakat sehingga
mengubah pula perilaku masyarakat yang bebas korupsi akan
tergambar suasana sebagai berikut : (1) Birokrasi sebagai pelayan
publik merasa bertanggung jawab atas pelayanan mereka, merasa
takut untuk memungut biaya tidak resmi dan akan mendapatkan
takut untuk memungut biaya tidak resmi dan akan mendapatkan
insentif resmi karena bertindak jujur. (2) Masyarakat menganggap
aturan – aturan akan ditaati sehingga masyarakat memposisikan
perilakunya dalam kerangka peraturan tersebut. (3) Masyarakat
tidak perlu membayar insentif tidak resmi (komisi, suap, uang
pelicin) karena mengetahui bahwa tanpa membayar pun akan
dilindungi hak-haknya untuk mendapatkan pelayanan publik yang
berkualitas.
Pengalaman di negara maju menunjukkan bahwa upaya untuk
membangun perilaku anti korupsi memerlukan waktu yang lama dan
komitmen yang kuat dari para pemimpinnya serta pengawasan terus
menerus dari masyarakat dan media massa. Oleh karena itu
mengharapkan Indonesia mampu memberantas korupsi dan
membudayakan perilaku antikorupsi dalam waktu singkat, adalah
harapan yang berlebihan. Dibutuhkan waktu yang lama melalui
proses yang disebut oleh Peter L Berger sebagai proses
internalisasi yang dimulai dari bangku-bangku sekolah dasar.
Indonesia menemukan momentum untuk memulai perang
melawan korupsi dengan dilakukan perubahan mendasar dalam
bidang ketatanegaraan yang memungkinkan dilaksanakannya
pemilihan umum yang jujur, bebas, adil dan pemilihan langsung
presiden pada tahun 2004. Hal ini membuat presiden dan anggota
parlemen lebih bertanggung jawab kepada rakyat. Pemilihan kepala
daerah secara langsung sebagai amanat UU Nomor 32 tahun 2004
tentang pemerintahan daerah akan meningkat akuntabilitas di
tingkat lokal. Pergeseran ini diyakini akan membuat para pemegang
kekuasaan publik lebih berhati – hati karena masyarakat menuntut
akuntabilitas yang lebih besar sebagai imbalan dari suara yang
diberikan pada saat pemlilihan kepala negara dan kepala daerah.
Pergeseran dalam pemilihan kepala daerah di Indonesia
haruslah dilihat sebagai peluang untuk membangun perilaku baru
dalam penciptaan sebagai peluang untuk membangun perilaku baru
dalam penciptaan keadilan dan pemberantasan korupsi melalui
kontrak politik antara calon kepala daerah dan konstituennya. Dari
tahun 2005 sampai dengan tahun 2009 akan terjadi pemilihan 33
Gubernur, 349 Bupati dan 91 Walikota. Oleh karena itu perubahan sistem ketatanegaraan ini haruslah dijadikan sebagai momentum
untuk membangun peningkatan akuntabilitas publik.
Perubahan dalam kerangka akuntabilitas juga tercermin dalam
kelengkapan pranata hukum yang disiapkan oleh pemerintah untuk
memerangi korupsi dan membangun perilaku antikorupsi. Pranata
hukum ini bersumber dari Ketetapan MPR bulan Oktober 1999 yang
menetapkan sebagai tujuan reformasi yaitu suatu aparat negara
yang berfungsi dalam penyelenggaraan jasa kepada rakyat yang
profesional, efisien, produktif, transparan, dan bebas dari kolusi,
knrupsi dan nepotisme. Pranata hukum lainnya adalah UU Nomor.
28 tahun 1999 tentang pemerintah yang bersih dan bebas KKN
yang mengharuskan pejabat-pejabat publik mengumumkan harta
kekayaannya dan menyetujui audit secara berkala, UU Nomor 31
tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi yang
mendefinisikan secara lebih luas tentang pidana korupsi dan
menetapkan gugatan dan prosedur penuntutan, dan amandemen
UU tersebut melalui UU Nomor 2 tahun 2001 yang meletakkan
beban pembuktian kepada terdakwa. Selain itu juga sudah
diundang-undangan UU tentang Pencucian Uang dan UU Nomor 30
tahun 2002 tentang Komisi Anti Korupsi. Dari segi pengelolaan
keuangan negara telah pula diundangkan UU Nomor 17 tahun 2003
tentang Keuangan Negara, UU Nomor 1 tahun 2004 tentang
Perbendaharaan Negara dan UU Nomor 15 tahun 2004 tentang
Tatacara Pemeriksaan dan Pertanggungjawaban Keuangan
Negara. Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa pranata hukum di
Indonesia sudah cukup memadai untuk melakukan pemberantasan
korupsi di Indonesia sudah cukup memadai untuk melakukan
pemerantas-an korupsi dan membangun perilaku anti korupsi. Dari segi kelembagaan, selain lembaga-lembaga konvensional
dalam penegakan hukum seperti kejaksaan dan kepolisian, telah
pula dibentuk komisi ombudsman nasional yang bertugas
menangani pengaduan-pengaduan, Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK) yang bertugas secara khusus untuk menangkap dan
memeriksa pelaku korupsi dan pusat pelaporan dan analisis
transaksi keuangan (PPATK) yang bertugas untuk memantau
transaksi yang mencurigakan dan melaporkan transaksi tersebut
kepada Jaksa Agung.
membangun perilaku anti korupsi memerlukan waktu yang lama dan
komitmen yang kuat dari para pemimpinnya serta pengawasan terus
menerus dari masyarakat dan media massa. Oleh karena itu
mengharapkan Indonesia mampu memberantas korupsi dan
membudayakan perilaku antikorupsi dalam waktu singkat, adalah
harapan yang berlebihan. Dibutuhkan waktu yang lama melalui
proses yang disebut oleh Peter L Berger sebagai proses
internalisasi yang dimulai dari bangku-bangku sekolah dasar.
Indonesia menemukan momentum untuk memulai perang
melawan korupsi dengan dilakukan perubahan mendasar dalam
bidang ketatanegaraan yang memungkinkan dilaksanakannya
pemilihan umum yang jujur, bebas, adil dan pemilihan langsung
presiden pada tahun 2004. Hal ini membuat presiden dan anggota
parlemen lebih bertanggung jawab kepada rakyat. Pemilihan kepala
daerah secara langsung sebagai amanat UU Nomor 32 tahun 2004
tentang pemerintahan daerah akan meningkat akuntabilitas di
tingkat lokal. Pergeseran ini diyakini akan membuat para pemegang
kekuasaan publik lebih berhati – hati karena masyarakat menuntut
akuntabilitas yang lebih besar sebagai imbalan dari suara yang
diberikan pada saat pemlilihan kepala negara dan kepala daerah.
Pergeseran dalam pemilihan kepala daerah di Indonesia
haruslah dilihat sebagai peluang untuk membangun perilaku baru
dalam penciptaan sebagai peluang untuk membangun perilaku baru
dalam penciptaan keadilan dan pemberantasan korupsi melalui
kontrak politik antara calon kepala daerah dan konstituennya. Dari
tahun 2005 sampai dengan tahun 2009 akan terjadi pemilihan 33
Gubernur, 349 Bupati dan 91 Walikota. Oleh karena itu perubahan sistem ketatanegaraan ini haruslah dijadikan sebagai momentum
untuk membangun peningkatan akuntabilitas publik.
Perubahan dalam kerangka akuntabilitas juga tercermin dalam
kelengkapan pranata hukum yang disiapkan oleh pemerintah untuk
memerangi korupsi dan membangun perilaku antikorupsi. Pranata
hukum ini bersumber dari Ketetapan MPR bulan Oktober 1999 yang
menetapkan sebagai tujuan reformasi yaitu suatu aparat negara
yang berfungsi dalam penyelenggaraan jasa kepada rakyat yang
profesional, efisien, produktif, transparan, dan bebas dari kolusi,
knrupsi dan nepotisme. Pranata hukum lainnya adalah UU Nomor.
28 tahun 1999 tentang pemerintah yang bersih dan bebas KKN
yang mengharuskan pejabat-pejabat publik mengumumkan harta
kekayaannya dan menyetujui audit secara berkala, UU Nomor 31
tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi yang
mendefinisikan secara lebih luas tentang pidana korupsi dan
menetapkan gugatan dan prosedur penuntutan, dan amandemen
UU tersebut melalui UU Nomor 2 tahun 2001 yang meletakkan
beban pembuktian kepada terdakwa. Selain itu juga sudah
diundang-undangan UU tentang Pencucian Uang dan UU Nomor 30
tahun 2002 tentang Komisi Anti Korupsi. Dari segi pengelolaan
keuangan negara telah pula diundangkan UU Nomor 17 tahun 2003
tentang Keuangan Negara, UU Nomor 1 tahun 2004 tentang
Perbendaharaan Negara dan UU Nomor 15 tahun 2004 tentang
Tatacara Pemeriksaan dan Pertanggungjawaban Keuangan
Negara. Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa pranata hukum di
Indonesia sudah cukup memadai untuk melakukan pemberantasan
korupsi di Indonesia sudah cukup memadai untuk melakukan
pemerantas-an korupsi dan membangun perilaku anti korupsi. Dari segi kelembagaan, selain lembaga-lembaga konvensional
dalam penegakan hukum seperti kejaksaan dan kepolisian, telah
pula dibentuk komisi ombudsman nasional yang bertugas
menangani pengaduan-pengaduan, Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK) yang bertugas secara khusus untuk menangkap dan
memeriksa pelaku korupsi dan pusat pelaporan dan analisis
transaksi keuangan (PPATK) yang bertugas untuk memantau
transaksi yang mencurigakan dan melaporkan transaksi tersebut
kepada Jaksa Agung.
BAB III
PENUTUP
PENUTUP
Haruslah disadari
benar bahwa upaya menegakkan hukum
tidaklah semudah membalik telapak tangan. Kejadian-kejadian yang
sekarang menimpa lembaga hukum hanyalah satu proses untuk
menuju terciptanya wibawa hukum. Sikap mawas diri merupakan
langkah terpuji yang seyogyanya dibarengi dengan upaya-upaya
yang bersifat sistemik dari lembaga-lembaga hukum mulai
kejaksaan, kepolisian, kehakiman, dan organisasi penasehat
hukum. Sudah saatnya lembaga-lembaga penegak hukum
melakukan : Pertama, evaluasi berkesinambungan atas semua
program dan kebijaksanaan yang sudah dicanangkan, agar dapat
mengurangi kendala yang dihadapi ; Kedua, klarifikasi kasus-kasus
besar yang diputuskan oleh pengadilan, sehingga masyarakat
mengetahui secara jelas pertimbangan hukum dan dasar-dasar
hukum yang digunakan. Ketiga, adalah reorientasi visi dan misi
lembaga penegak hukum agar mengutamakan keadilan substansial.
Oleh karena itu peningkatan kualitas sumber daya manusia di
bidang hukum mutlak perlu. Di dalam era global seperti sekarang ini, dengan perubahan sosial yang begitu cepat, aparat penegak
hukum harus tanggap dan melakukan penyesuaian diri dengan
meningkatkan kemampuan. Adanya perbedaan penafsiran bunyi
suatu pasal, seharusnya tidak perlu terjadi. Pemahaman yang sama
terhadap suatu konstruksi hukum akan sangat mendukung
keberhasilan proses penegakan hukum. Koordinasi dan penyamaan
persepsi antar aparat penegak hukum (Polisi, Jaksa, Hakim, dan
Pengacara) harus dikembangkan sejak dini. Pembenahan paling
dini dapat dimulai dari sistem rekrutmennya. Seperti yang kita
ketahui, rekrutmen untuk jabatan-jabatan inti dalam hukum seperti
hakim, Jaksa, maupun advokat berasal dari populasi sarjana hukum
yang sangat bervariasi mutunya. Pada umumnya dapat dikatakan
bahwa mereka yang melainkan untuk jabatan hakim, maupun jaksa
bukanlah lulusan yang terbaik. Seleksi pelamar terutama yang
menyangkut tentang kemahiran, pengetahuan, dan kemampuan
hukum tidaklah ketat.
tidaklah semudah membalik telapak tangan. Kejadian-kejadian yang
sekarang menimpa lembaga hukum hanyalah satu proses untuk
menuju terciptanya wibawa hukum. Sikap mawas diri merupakan
langkah terpuji yang seyogyanya dibarengi dengan upaya-upaya
yang bersifat sistemik dari lembaga-lembaga hukum mulai
kejaksaan, kepolisian, kehakiman, dan organisasi penasehat
hukum. Sudah saatnya lembaga-lembaga penegak hukum
melakukan : Pertama, evaluasi berkesinambungan atas semua
program dan kebijaksanaan yang sudah dicanangkan, agar dapat
mengurangi kendala yang dihadapi ; Kedua, klarifikasi kasus-kasus
besar yang diputuskan oleh pengadilan, sehingga masyarakat
mengetahui secara jelas pertimbangan hukum dan dasar-dasar
hukum yang digunakan. Ketiga, adalah reorientasi visi dan misi
lembaga penegak hukum agar mengutamakan keadilan substansial.
Oleh karena itu peningkatan kualitas sumber daya manusia di
bidang hukum mutlak perlu. Di dalam era global seperti sekarang ini, dengan perubahan sosial yang begitu cepat, aparat penegak
hukum harus tanggap dan melakukan penyesuaian diri dengan
meningkatkan kemampuan. Adanya perbedaan penafsiran bunyi
suatu pasal, seharusnya tidak perlu terjadi. Pemahaman yang sama
terhadap suatu konstruksi hukum akan sangat mendukung
keberhasilan proses penegakan hukum. Koordinasi dan penyamaan
persepsi antar aparat penegak hukum (Polisi, Jaksa, Hakim, dan
Pengacara) harus dikembangkan sejak dini. Pembenahan paling
dini dapat dimulai dari sistem rekrutmennya. Seperti yang kita
ketahui, rekrutmen untuk jabatan-jabatan inti dalam hukum seperti
hakim, Jaksa, maupun advokat berasal dari populasi sarjana hukum
yang sangat bervariasi mutunya. Pada umumnya dapat dikatakan
bahwa mereka yang melainkan untuk jabatan hakim, maupun jaksa
bukanlah lulusan yang terbaik. Seleksi pelamar terutama yang
menyangkut tentang kemahiran, pengetahuan, dan kemampuan
hukum tidaklah ketat.
Di negara maju, untuk seleksi jabatan
hakim, jaksa, dan
advokat benar-benar memperhatikan mutu pengetahuan,
kemahiran, dan kemampuan hukum. Seleksi untuk memperoleh
jabatan inti ini sangat ketat. Di Jepang, hakim, jaksa, dan advokat
harus mengikuti pendidikan khusus setelah mereka lulus dari
fakultas hukum. Sementara itu, Malaysia, dan Singapura melaku-
kan seleksi untuk jabatan inti dengan cara kerjasama yang erat
antara pendidikan tinggi hukum dengan institusi hukum. Institusi
hukum ini hanya mau menerima lulusan-lulusan terbaik saja.
Kiranya kita dapat belajar dari negara-negara tetangga yang telah
memelopori peningkatan kualitas sumber daya manusia di bidang
hukum. Selain melakukan pembenahan sumber daya manusia
sebagai bagian dari brainware system, penting pula kiranya untuk
membenahi perangkat hukum sebagai bagian dari software system.
Oleh karena itu diperlukan pergeseran paradigma dari hukum yang
teknokratis struktural menuju hukum humams partisipatoris yang
dimulai dari proses hukum yang paling awal karena terdapat
hubungan yang erat antara perencanaan hukum, pembentukan
hukum, penegskan huknm dan pendayagunaan hukum. Dalam
konteks penegakan hukum itu sendiri perlu dilakukan redefinisi
bahwa penegakan hukum tidak lain adalah mewujudkan isi, jiwa,
dan semangat undang-undang/peraturan ke dalam kehidupan
sehari-hari. Oleh karena itu, siapapun yang telah mewujudkan isi,
jiwa dan semangat undang-undang dalam kehidupan sehari-hari,
dirinya adalah penegak hukum.
advokat benar-benar memperhatikan mutu pengetahuan,
kemahiran, dan kemampuan hukum. Seleksi untuk memperoleh
jabatan inti ini sangat ketat. Di Jepang, hakim, jaksa, dan advokat
harus mengikuti pendidikan khusus setelah mereka lulus dari
fakultas hukum. Sementara itu, Malaysia, dan Singapura melaku-
kan seleksi untuk jabatan inti dengan cara kerjasama yang erat
antara pendidikan tinggi hukum dengan institusi hukum. Institusi
hukum ini hanya mau menerima lulusan-lulusan terbaik saja.
Kiranya kita dapat belajar dari negara-negara tetangga yang telah
memelopori peningkatan kualitas sumber daya manusia di bidang
hukum. Selain melakukan pembenahan sumber daya manusia
sebagai bagian dari brainware system, penting pula kiranya untuk
membenahi perangkat hukum sebagai bagian dari software system.
Oleh karena itu diperlukan pergeseran paradigma dari hukum yang
teknokratis struktural menuju hukum humams partisipatoris yang
dimulai dari proses hukum yang paling awal karena terdapat
hubungan yang erat antara perencanaan hukum, pembentukan
hukum, penegskan huknm dan pendayagunaan hukum. Dalam
konteks penegakan hukum itu sendiri perlu dilakukan redefinisi
bahwa penegakan hukum tidak lain adalah mewujudkan isi, jiwa,
dan semangat undang-undang/peraturan ke dalam kehidupan
sehari-hari. Oleh karena itu, siapapun yang telah mewujudkan isi,
jiwa dan semangat undang-undang dalam kehidupan sehari-hari,
dirinya adalah penegak hukum.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman, 1989, Perkembangan
Pemikiran tentang Pembinaan
Hukum Nasional, Jakarta, Akademika Presindo.
Hukum Nasional, Jakarta, Akademika Presindo.
Adamson, Walter L., 1980 Hegemony
and Revolution : A Study of
Antonio Gramsci’s Political and Culture Theory. Berkeley,
University of California Press.
Antonio Gramsci’s Political and Culture Theory. Berkeley,
University of California Press.
Darmaputera, Eka,
1997, Pancasila, Identitas dan Modernitas,
Jakarta, BPK Gunung Mulia.
Jakarta, BPK Gunung Mulia.
Glenn, H Patrick,
2000. Legal Traditions of The World, Oxford
University Press.
University Press.
Hatta, Moh, 1975, Menuju Negara
Hukum, Jakarta, Yayasan Idayu.
Jawamaku, Anton,
1993, Cita-cita Hukum dan Langkah Strategis
Pembangunan Hukum, Analisis CSIS No. 1 Bulan Januari-
Februari l993.
Pembangunan Hukum, Analisis CSIS No. 1 Bulan Januari-
Februari l993.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar